Lincak

OPM Injak-Injak Nama Presiden yang Ada di Keset di Pintu Markas di Hutan Papua

Organisasi Papua Merdeka (OPM) memperlihatkan kondisi pilot Susi Air yang mereka sandera. Pada masa Orde Baru, OPM injak-injak nama presiden yang ada di keset di markas mereka di hutan Papua.

Pada 29 April 2021, pemerintah mengganti penyebutan OPM menjadi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Kelompok Separatis Teroris (KST).

Pada 5 April 2024, TNI mengganti penyebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi Oganisasi Papua Merdeka (OPM). Sebelumnya, oleh pemerintah, KKB disebut juga sebagai Kelompok Separatis Teroris (KST).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pada 1980-an, TPN OPM bergerilya di hutan bagian timur Irian Jaya. Di pintu masuk markas mereka ada keset yang ditulisi nama presiden untuk mereka injak-injak.

Oohya! Baca juga ya:

Prajurit Pakubuwono I Sudah Ikat Tombak, Kenapa akan Serang Lagi Sunan Amral?

"Setiap orang yang masuk harus menginjak tulisan itu dan berkata Republik Indonesia pengkhianat Papua Barat," kata Sendius Wonda, tokoh Papua yang pernah menjadi pejabat bupati.

Nama OPM sudah ada sejak Orde Baru. OPM juga memiliki tentara, yang pada masa Orde Baru menamakan dirinya Tentara Pembebasan Nasional (TPN) OPM.

Sekarang namanya: Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) OPM. Mereka menyebut sebagai Papua Barat, sebab sebagian dari pulau itu adalah negara Papua Nugini.

Betapa radikalnya mereka. Tapi Sendius Wonda menyebut ada anggota TPN OPM yang pada 1980-an yang ditangkap, laku dipenjara.

Oohya! Baca juga ya:

Tak Hafal 12 Nama Murid Yesus Kristus, Winona Araminta Dihukum Lari 12 Putaran, Eh, Sang Guru Malah Masuk Islam

Setrlah dipenjara, ia kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia kemudian bersekolah untuk menjadi pendeta.

Ia pun kemudian menjadi pendeta dan memiliki istri perempuan Batak. Maka, ia sering membanggakan istrinya itu karena tidak hitam dan tidak berambut keriting.

Kepada jemaatnya, ia mengaku sebagai anak Tuhan yang beruntung. Dari mengalami masa penderitaan, kemudian diberi istri yang cantik.

"Saya sebebarnya tidak ganteng, tidak mungkin kawin dengan perempuan yang cantik. Tetapi karena saya telah menjadi anak Tuhan sejati, sehingga Tuhan telah memberikan seorang istri yang paling cantik, yaitu yang menjadi istri saya dari Batak," kata pendeta mantan anggota OPM yang dulu biasa injak-injak nama presiden Indonesia yang ditulis di keset, seperti yang diceritakan oleh Sendius Wonda.

Pada 1970-an, orang Papua menikah drngan orang non-Papua kasusnya 1:1.000. Sendius Wonda menganggap pendeta itu keliru jika menganggap telah naik jelas setelah menikah dengan orang non-Papua.

Itu artinya merendahkan perempuan Papua. Ia menjadi orang Papua yang kehilangan jati diri karena merasa menjadi jauh lebih baik setelah menikah dengan orang non-Papua.

Sendius Wonda menilai perkawinan campuran Papua dengan non-Papua sebagai hal yang sulit ia terima. Saat ini sudah banyak perkawinan campuran di Papua.

"Ada sebagian orang Papua beranggapan bahwa kawin orang Papua karena mereka lebih baik dalam mengatur rumah tangga, lebih baik, lebih ramah dan lembut dibanding kawin perempuan Papua, keras kepala, tidak mau diatur," kata Sendius Wonda.

Para pejabat di Papua yang menikah dengan orang non-Papua, dilihat oleh Sendius Wonda sering menghina orang Papua. Mereka merasa istrinya lebih baik dari perempuan Papua.

Mereka, kata Sendius Wonda, melihat orang Papua dari sudut pandang orang Indonesia. Bahwa perjawinan campuran akan memperbaiki keturunan orang Papua.

Saat Sendius Wonda kuliah di Malang, ia pernah mendapat penghinaan semacam itu dari temannya yang Batak. Temannya itu tentu sedang bercanda, tetapi Sendius Wonda tidak menyukai candaan yang rasialis itu.

"Pace, kamu kawin aja perempuan Jawa supaya perbaiki keturunan," kata teman Sendius Wonda.

"Memang diriku ini bukan manusia?" jawab Sendius Wonda, singkat.

Teman Sendius Wonda lalu memperbaiki maksud perkataannya. Bahwa jika Sendius menikah dengan orang Jawa, anaknya lahir dengan kulit cokelat dan rambut bergelombang.

"Risiko yang kebih fatal yang harus diterima adalah rumpun Melanesia semakin lama semakin tidak asli lagi," kata Sendius Wonda.

Menurut Sendius Wonda, perkawinan campuran adalah hak asasi manusia. Tetapi, kata dia, orang Papua memiliki tanggung jawab terhadap rumpun Melanesia.

Karenanya, ia mencurigai perkawinan campuran sebagai upaya menghilangkan rumpun Melanesia. Tapi apa mau dikata?

Bahkan, anggota OPM yang radikal pun, setelah kembali ke NKRI juga melakukan perkawinan campuran. Padahal saat menjadi anggota OPM pada 1980-an, orang itu selalu injak-injak nama presiden Indonesia yang ditulis di keset.

"Dalam pintu masuk markasnya ada serbet kaki (lap kaki) tulisan Presiden Soeharto," kata Sendius Wonda. Nama presiden di keset itulah yang tiap hari mereka injak-injak.

Apakah sekarang masih ada nama presiden yang ditulis di keset di pintu markas OPM? Entahlah.

Setelah TNI mengganti sebutan KKB menjadi OPM, akankah persoalan di Papua dapat diselesaikan? Panglima TNI menyatakan, penggantian penyebutan itu akan membuat aparat bisa bertindak tegas.

Oohya! Baca juga ya:

Tukang Rumput Damaikan Sunan Amral dan Pakubuwono I yang Perang Berebut Keraton Mataram, Siapakah Tukang Rumput Itu?

"Ada dugaan kuat seperti rahasia umum bahwa OPM sengaja dipelihara untuk kepentingan operasi militer, ekonomi, dan politik," ujar Socratez Sofyan Yoman dalam kata pengantar buku Tenggelamnya Runpun Melanesia. Saat buku itu diterbitkan pada 2007, ia menjadi ketua umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Tenggelamnya Rumpun Melanesia, Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat, karya Sendius Wonda SH MSi (2007)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]