Pitan

Mengapa Sunan Kalijaga Berubah Jadi Tinggi Besar, Bercambang-Jenggot Lebat?

Sunan Kalijaga mengubah bentuk menjadi tinggi besar, bercambang-jenggot lebat, berbulu dada lebat juga. Para wali lainnya menyebutnya genderuwo. Mengapa ia melakukan itu?

Para wali menghadap Sultan Demak. Mereka menyatakan ingin bertemu dengan rakyat jelata yang tinggal di istana, yaitu Kaki Walaka.

Sebelum menemui para wali, Walaka pun mengubah diri. Ia menjadi sosok tinggi besar, bercambang-jenggot, dan berbulu dada lebat. Sultan Demak dan para wali sempat menduganya sebagai genderuwo.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sunan Muryopodo juga kaget karena orang yang telah ia bunuh itu masih hidup dan tinggal di istana serta berubah wujud. karena ia telah membunuhnya. Tidak tahukah mereka bahwa Kaki Walaka adalah Sunan Kalijaga?

Oohya! Baca juga ya:

Beringin dan Istana Emas di IKN, Ini Kata Serat Kaca Wirangi

Walaka mengaku menjadi tinggi besar kerna berkat kdmurahan hati Sang Sultan. Sunan Muryopodo menegahnya, karena para wali juga mendaoat kemurahan hati dari Sultan, tetapi tidak ada yang berubah.

Bahkan beberapa wali telah menjadi kurus karena siang-malam selalu memikirkan negara dan rakyat. Karena itulah, Suban Muryiopodo menganggap Walaka sebagai rakyat jelata bisa menjadi tinggi besar karena tidak ada beban mengolah pikiran.

Walaka tertawa keras mendengar ucapan Sunan Muryopodo. Sebab Sunan Muryopodo membuat perbandingan berdasarkan asal bicara saja.

Ia pun lalu menguji Sunan Muryopodo denfan beberapa pertanyaan. Benarkah makanan bisa membuat gemuk seseorang? Bebarkah hanya para wali yang menggunakan pikiran?

Oohya! Baca juga ya:

Joko Tingkir, Cucu Raja Majapahit yang Menurunkan Presiden Indonesia

Benarkah hanya para wali yang memikul beban negara? Benarkah para wali tidak pernah tidur? Tidak pernah makan?

Pertanyaan Walaka tidak berhenti di situ. Ia juga menanyakan sifat-sifat Allah, pun menanyakan sikap oara wali yang masih berlindung di bawah kewibawaan raja.

Ia juga bertanya mengensi kemungkinn para wali yang masih memiliki sifat iri dengki. Juga sifat angkara yang tidak menyukai sesama hidup, karena itu adalah sidat-difat hewan.

"Jika saya memiliki abdi sepertimu, berat hati ini untuk memberi makan, walaupun hanya mrmberikan sisa, itu disebut mubazir," kata Kaki Walaka.

Mendengar ocehan Walaka, Sunan Muryopodo merasa malu hati. Ingin segera ia beradu fisik dengan Walaka, tetapi Sunan Giri mencegahnya.

Ia disarankan untuk tidak menanggapi Walaka. Menanggapinya, dianggap akan menurunkan harga diri.

Oohya! Baca juga ya:

Festival Bamasak Hai Mnahat Dukung Ketahanan Pangan Lokal di NTT

Rupanya, tak hanya Muryopodo yang dongkol. Sunan Kudus juga dongkol mendengar perkataan Walaka.

Sunan Kudus juga ingin bertindak. Sunan Giri mencegahnya sembari memberin kode.

Kode yang dimaksud adalah mengekuarkan ajian panglerepan dan pangalisan. Para wali yang mengerti kode Sunan Giri segera mengekuarkan ajian pangalisan.

Sedangkan Sunan Panggung, Syekh Lemahabang, Sykeh Maulana Ibrahim memilih keluar, pura-pura hendak mengambil air. Tidak ingin ikut campur.

Saat keluar mereka memiliki pandangan yang sama. Bahwa senua telah dikuasai oleh sifat cepat marah.

Oohya! Baca juga ya:

Kuil Freemason Dibangun oleh Penangkap Diponegoro, Pemuda Indonesia Memakai untuk Kongres

Para wali yang menyerang Walaka beranggapan Walaka bukanlah manusia. Melainkan genderuwo penunggu istana.

Ada pula yang menyebutnya sebagai "saudara" Sang Raja yang lahir bersamaan. Para wali yang keluar, termasuk Sunan Giri, mereka tahu bahwa Walaka bukanlah genderuwo.

Mereka tahu, orang yang berubah rupa itu adalah Sunan Kalijaga. Sultan Demak akhirnya tahu jika Walaka adalah Sunan Kalijaga.

Sultan Demak pun segera memeluk pangkuan Sunan Kalijaga. Namun, Sunan Kalijaga segera menghilang, meninggalkan seberkas cahaya yang kemudian juga sirna.

Para wali pun takjub.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Laku Hidup Kanjeng Sunan Kalijaga, terjemahan dari kitab kuno Serat Kaki Walaka, diterbitkan oleh Trah Kekuarga Besar Sunan Kalijaga (2007)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]