Ini Alasan Belanda Mengangkat Hamengkubuwono II yang Sudah Pikun Menjadi Sultan Lagi, Apa Komentar Diponegoro?
Belanda terus memikirkan cara mengakhiri perang dengan Diponegoro. Dari beberapa usulan yang mencuat, yang diterima adalah menobatkan kembali Hamengkubuwono II yang sudah pikun menjadi sultan Keraton Yogyakarta.
Usulan lain ditolak. Seperti misalnya usulan memecah Yogyakarta menjadi tiga wilayah kekuasaan, yaitu wilayah gubernemen, wilayah susuhunan, dan wilayah mangkunegaran. Usulan ini dianggap terlalu radikal.
Ada pula usulan memecah Keraton Yogyakarta dengan memberi Diponegoro wilayah kerajaan sendiri. Usulan ini dianggap tidak pantas.
Oohya! Baca juga ya:
Maka, untuk segera mewujudkan usulan mengangkat kembali Hamengkubuwono II sebagai sultan, pada 17 Agustus 1826 dilakukanlah pelantikan Hamengkubuwono II di Bogor. Pada 20 September 1826 Hamengkubuwono II sudah tiba lagi di Yogyakarta.
Usia Hamengkubuwono II saat itu sudah 76 tahun. Ia dinobatkan sebagai sultan Yogyakarta untuk pertama kalinya pada 1792. Tapi pada 1810 ia diturunkan dari tahta, lalu Belanda mengangkat ayah Diponegoro menjadi Hamengkubuwono III.
Pada 1811, saat Inggris merebut Batavia, Hamengkubuwono II mengambil kesmepatan kembali naik tahta dan menjadikan ayah Diponegoro sebagai putra mahkota lagi. Tapi, ketika Inggris menguasai keraton pada 1812, Inggris menobatkan ayah Diponegoro sebagai Hamengkubuwono III lagi.
Ketika Hamengkubuwono III meninggal pada 1814, adik Diponegoro yang baru berusia 10 tahun naik tahta menjadi Hamengkubuwono IV. Pada 1822, saat berusia 20 tahun, Hamengkubuwono IV meninggal dunia.
Putra mahkota yang masih berusia dua tahun, oleh Belanda dinobatkan sebagai sultan dengan nama Hamengkubuwono V. Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi (adik Hamengkubuwono III) diangkat oleh Belanda sebagai wali sultan.
Oohya! Baca juga ya:
Namun, dalam pelaksanaannya, Residen Yogyakarta dan Patih Danurejo IV tidak melibatkan Diponegoro dan Ma ngkubuwi dalam urusan pemerintahan. Ratu Ageng pun tidak ingin melihat Diponegoro duduk di singgasana menggantikan Hamengkubuwono V di acara persembahan.
Maka, yang didudukkan di singgasana adalah Residen Yogyakarta. Diponegoro tersinggung karena para bupati harus menyembah orang Belanda yang menjabat residen itu.
Setelah Residen dan Patih Danurejo membuat proyek pelebaran jalan, tanah Diponegoro terkena proyek tetapi tidak diajak berbicara terleih dulu. Tahu-tahu, anak buah Danurejo mematok tanah Diponegoro.
Pengikut Diponegoro melakukan perlawanan. Ajakan dialog tidak mencapai titik temu, hingga akhirnya pasukan Belanda dan pasukan Danurejo menyerbu Tegalrejo.
Pangeran Dponegoro menyelamakan diri, rmah di Tegalrejo kemudian dibakar oleh Belanda. Sejak itulah genderang perang ditabuh oleh Diponegoro, dan membuat susah Belanda, hingga Belanda merasa perlu mengangkat kembali hamengmkubuwono II menjadi sultan.
Kondisi Hamengkubuwono II saat itu digambarkan oleh catatan Belanda sebagai sosok yang sudah pikun dan loyo. Ia banyak dikendalikan oleh istri terakhirnya yang digambarkan sebagai sosok yang rakus yang justru menghancurkan semangat keraton.
Oohya! Baca juga ya:
“Pemulihan kekuasaan [sang] Sultan Sepuh [...] merupakan tindakan mungkar karena putra-putra dan cucu-cucunya tidak mengharapkan kebaikan dari Sultan ini,” ujar Diponegoro yang dicatat oleh Knoerle, ajudan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
“Walaupun harapan kembalinya Sultan Sepuh akan memulihkan kewibawaan moral kesultanan ternayat keliru, De Kock memanfaatkan kesempatan itu untuk mengkaji sebaik mungkin keadaan militer, dan menghasilkan suatu strategi lima pokok yang memadukan unsur-unsur politik dan militer,” tulis Peter Carey.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]