Pitan

Raffles dan Bule Australia Pernah Membahas Kebaya Janggan yang Dikenakan Dian Sastro di 'Gadis Kretek'

Dian Sastro dalam sebuah adegan di miniseri 'Gadis Kretek', mengenakan kebaya janggan. Kebaya dengan leher tinggi menutupi dada bagian atas hingga leher ini mendapat pengaruh dari Islam.

Di miniseri Gadis Kretek yang ditayangkan Netflix, kebaya janggan yang dikenakan Dian Satro menjadi perbincangan kaum perempuan. Pada 1817, Raffles telah menyinggung kebaya janggan ini dan bule Australia juga mengulasnya pada 1997.

Raffles, menjadi letnan gubernur di Jawa pada 1811-1816, pada 1817 menerbitkan buku The History of Java. Di buku itu ia menggambarkan kecantikan perempuan Jawa sebelum terkena pengaruh Islam.

Kecantikannya melebih kecantikan Dewi Ratih. Wajahnya seperti bulan, bahunya seperti timbangan emas dengan pundak terbuka. Lengannya seperti busur ditarik. Dan sebagainya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Orang Jawa, menurutnya, berpakaian lebih baik daripada orang-orang di India. Padahal, banyak pakaian yang dikenakan oleh orang Jawa kainnya diimpor dari India.

Oohya! Baca juga ya: Bicara Legenda Aji Saka dan Medang Kamulan serta Mengatur Produksi Garam, Apakah Raffles Pernah ke Grobogan?

Baik laki-laki maupun perempuan mengenakan kain yang dililitkan di badan hingga menutupi ujung kaki. Untuk perempuan, kain dililitkan dari dada yang mendekati pangkal lengan.

Dalam pemakaian kain, ada yang dipakai secara longgar seperti sarung, ada yang dipakai lebih ketat sehingga membatasi gerak perempuan. Kain yang ketat akan membuat perempuan duduk bertumpu pada lutut.

Sedangkan jika mengenakan kain secara longgar akan memudahkan mereka duduk bersila. Baik saat memberikan sembah sungkem kepada orang yang lebih tua atau kepada atasannya maupun saat duduk bersila untuk makan menggunakan tangan kanan --sesuai ajaran Islam.

Setelah mendapat oengaruh Islam, perempuan Jawa mengenakan kebaya berleher tinggi. Disebut sebagai kebaya janggan. Di bukunya, Raffles memperlihatkan beberapa gambar pakaian perempuan Jawa.

Ada gambar perempuan sedang mengenakan pakaian pengantin dan pakaian penari. Pengantin perempuan dan penari perempuan mengenakan kain kemben mencapai pangkal lengan dengan pundak terbuka. 

Oohya! Baca juga ya: Asal Usul Boneka Teddy’s Bear yang Dibawa Kaesang, Ada Kaitannya dengan Sikap Santun Presiden Amerika Serikat

Ada pula gambar perempuan sedang mengenakan kebaya janggan dengan kain yang longgar. Saat ini kita bisa melihat gambar pahlawan nasional kelahiran Desa Serang di perbatasan Sragen dan Grobogan yang mengenakan kebaya janggan hitam dengan rambut digelung.

Pahlawan nasional itu adalah Nyi Ageng Serang, masih memiliki darah keturunan dari Sunan Kalijaga. Ia memimpin pasukan dalam Perang Diponegoro (1825-1830) di wilayah Grobogan, terlihat anggun dan tegas

Kebaya janggan merupakan hasil modifikasi dari kebaya versi sebelum-sebelumnya yang masih memperlihatkan dada bagian atas. Hingga awal abad ke-19, kemben masih menjadi bagian dari pakaian perempuan Jawa.

“Kita dapat dengan jelas melihat pengaruh Hindu dalam penggunaan kain yang tidak dipotong ini,” tulis Jean Gelman Taylor, bule Australia yang menjadi dosen sejarah modern Asia Tenggara di University of South New Wales, Sidney, dalam buku yang diterbitkan pada 1997 (edisi bahasa Indonesia diterbitkan pada tahn 2005).

Kain ini tidak dipotong dan tidak dijahit. Dipakai dengan cara melilitkannya di tubuh. Kain utuh yang dikenakan sebagai pakaian ini memiliki nilai sakral bagi masyarakat Jawa.

Maka, ketika pakaian terusan hasil jahitan dikenalkan di Jawa, perempuan Jawa menolak memakainya. Dalam upacara-upacara adat, perempuan hanya mengenakan kain kemben yang menutupi tubuh mulai dari pangkal lengan hingga ujung kaki.

“Secara umum, para perempuan Jawa tidak memakai baju terusan gaya Barat sampai setelah masa kemerdekaan,” tulis Jean Gelman Taylor.

Mereka yang mengenakan baju terusan sebelum tahun 1940 adalah gadis-gadis usia sekolah. Biasanya putri-putri bangsawan yang bersekolah di sekolah Eropa di Jawa.

Oohya! Baca juga ya: Mengapa Pemuda Madura Berdarah Santri Ini tidak Jadi Mengelola Surat Kabar Muhammadiyah ‘Menara’?

Perempuan Jawa mengenakan kebaya janggan pada awal abad ke-19.

Sekolah-sekolah Kartini dan sekolah-sekolah Dewi Sartika masih menekankan pemakaian kain kebaya bagi siswi-siswinya. Penampilan tubuh perempuan yang ditutupi dengan kebaya janggan menjadi standar cara berpakaian perempuan Jawa Muslimah.

Ada pengaruh Islam dalam kebaya janggan. “Pengaruh Islam terhadap kostum Jawa dapat dideteksi pada gaya kebaya berleher tinggi, bahan-bahan polos pengganti batik, serta menutupi leher dan rambut,” tulis Jean Gelman Taylor.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial Tahun 1800-1940” karya Jean Gelman Taylor dalam Outward Appearances (2005)
- The History og Java karya Raffles (1978)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]