Canggah Sultan Agung Bawa Pohon Beringin Saat Pindah Ibu Kota, 50 Ribu Prajurit Mataram Berbaris Paling Belakang
Arak-arakan pindah ibu kota Mataram ini melibatkan puluhan ribu orang. Ada 50 ribu prajurit berbaris di urutan paling belakang.
Sedangkan paling depan adalah prajurit yang membawa dua pohon beringin yang dicabut dari alun-alun Kartosuro. Di belakangnya ada prajurit yang membawa bangsal pangrawit dan bangsal tahta raja, dalam bentuknya yang utuh.
Canggah Sultan Agung menaiki kereta kuda yang bergerak sangat pelan, mengikuti alun gerak para pengangkut dua pohon beringin. Canggah adalah sebutan untuk keturunan keempat dalam silsilah keluarga di Jawa.
Oohya! Baca juga ya:
Sultan Agung memiliki anak yang menggantikan tahtanya, yaitu Amangkurat I. Amangkurat I memiliki anak Pakubuwono I, Pakubuwono I memiliki anak Amangkurat IV, dan Amangkurat IV memiliki anak Pakubuwono II.
Canggah Sultan Agung itu, yaitu Pakubuwono II, beserta permaisuri dan putra-putri mereka mengenakan pakaian yang indah-indah, bertabur permata. Arak-arakan ini dianggap sebagai ritual adat keretaon, sehingga mereka harus berpakaian indah.
"Cara Raja keluar dari Kartosuro adalah perjalanan cara lama: suatu barisan kerajaan yang menandai saat agung ketika raja melakukan perjalanan dengan segala jenis pusakanya," kata antropolog John Pemberton.
Kereta kuda yang dinaiki Pakubuwono II merupakan hadiah dari Kompeni. Kereta itu diberi nama Kangjeng Kiai Garuda, diambil dari nama burung tunggangan Dewa Wisnu.
Komandan Kompeni Baron van Hohendorff juga naik kereta kuda, posisinya berada di depan kereta kuda Pakubuwono II. Kereta-kereta kuda yang dinaiki anggota keluarga kerajaan dan para pejabat tinggi kerajaan juga berada di depan kereta Sang Raja.
Oohya! Baca juga ya:
Mengapa Sultan Agung Membunuh 1.250-an Orang Sunda?
Di sisi kakan-kiri kereta kuda canggah Sultan Agung itu berbaris para abdi dalem yang berpakaian merah. Mereka membawa benda-benda upacara kerajaan.
Persis di depan kereta kuda Pakubuwono II ada pasukan Kompeni beserta pejabat keagamaan berjalan berbaris. Mereka mengiring benda-benda pusaka yang memiliki tuah, antara lain tongkat sakti Kangjeng Kiai Cengkal Baladewa.
Permaisuri ditandu, di bekalang kereta Pakubuwono II. Para dayang mengiringinya berikut benda-benda pusaka.
Dalam arak-arakan pindah ibu kota Mataram itu, para pejabat kerajaan dari berbagai negeri bawahan beriringan di belakang tandu permaisuri. Dan barisan paling belakang adalah 50 ribu prajurit yang berjalan atau menunggang kuda.
Ketika canggah Sultan Agung, yaitu Pakubuwono II, sudah memerintahkan penanaman pohon beringin di Solo, barisan paling akhir ini masih ada yang belum beranjak dari Kartosuro. Begitu banyak yang ikut arak-arakan, sehingga padat barisannya untuk jarak tempuh yang hanya 10 kilometer.
"Terdengar suara-suara orang, ditingkah suara segala jenis bunyi-bunyian, tembakan bedil dan meriam besar, ringkikan kuda-kuda hebat, seakan-akan dunia pecah menjafi tiga," ujar John Pemberton.
Oohya! Baca juga ya:
Aplikasi BDKlim Prediksi Kelembaban Udara untuk Lihat Kasus DBD di Bali
Gong disediakan di sepanjang jalan, dipukul bersamaan dengan dibunyikannya terompet dan tambur oleh prajurit Kompeni. Arak-arakan pindah ibu kota itu begitu bergemuruh.
Pakubuwono II merebut Kartosuro atas bantuan Kompeni dan orang-orang Madura. Sebelumnya, Amangkurat V yang bertahta di Kartosuro.
Amangkurat V merupakan sultan baru yang dinobatkan oleh Bupati Grobogan dan orang-orang Cina di Demak, karena kecewe terhadap Pakubuwono II yang berpihak kepada Kompeni. Adipati Pati menobatkan ulang Amangkurat V.
Setelah itu, mereka merebut Kartosuro. Pakubuwono II melarikan diri ke Ponorogo. Keraton yang sudah luluh lantak itu kemudian direbut lagi oleh Pakubuwono II. Sisa-sisanya, bangsal pangrawit dan bangsal tahta raja, diangkut ke Solo saat pindah keraton.
Solo, yang kemudian diganti menjadi SUrakarta Hadiningrat, merupakan lokasi ibu kota baru yang dipilih oleh Kompeni karena dekat Bengawan Solo, strategis untuk membangun loji. Kompeni kemudian membuang Amangkurat V ke Srilanka (Ceylon). Dikenallah ia kemudian sebagai Pangeran Selong.
Oohya! Baca juga ya:
Selo Grobogan Istimewa, tak Bisa Diambil Belanda Setelah Diponegoro Ditangkap, Kok Bisa?
Arak-arakan pindah ibu kota itu terjadi pada 20 Februari 1745. Tetapi berbeda jauh dengan arak-arakan yang pernah ada sebelum dan sesudahnya.
"Seorang raja benar-benar berjalan bersama dengan seluruh kerajaannya, atau paling tidak, apa yang tersisa darinya," kata John Pemberton.
Itulah yang membedakan arak-arakan ini dengan arak-arakan lainnya. Bangsal dari keraton lama dan dua pohon beringin yang dicabut dari alun-alun keraton lama diangkut beramai-ramai ke lokasi keraton baru.
"Dicabut dari tempat keramat mereka di alun-alun Kartosuro dan diangkut bagaikan tanaman dalam pot untuk dipindahtanamkan," tulis John Pemberton menggambarkan pemindahan dua pohon beringin itu.
Akar pohon beringin itu dan juga daunnya begitu rimbun. Pohon beringin merupakan simbol hidupnya kekuasaan raja, itulah sebabnya canggah Sultan Agung itu membawanya serta saat pindah ibu kota.
"Dinasti Pakubuwono melakukan tindakan ritual yang belum pernah dilakukan dalam sekubung adat suatu arak-arakan raja, dan dengan kawalan Kompeni, dia mendirikan kerajaan baru secara sereminial," kata John Pemberton.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Jawa, karya John Pemberton (2003)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com