Pakubuwono II Pindah Keraton Bawa 2 Pohon Beringin dari Kartosuro, Kenapa Melibatkan Ulama?
Dua pohon beringin ada di posisi paling depan dalam arak-arakan itu. Akarnya sudah rimbun sebagaimana daunnya.
Di belakang dua pohon beringin itu ada bangsal pangrawit, bangsal tahta raja. Keduanya diangkut dalam bentuknya yang utuh dengan melibatkan para ulama.
Inilah arak-arakan Pakubuwono II pindah keraton dari Kartosuro ke Surakarta. Pakubuwono II ikut berjalan di dalam arak-arakan ini.
Oohya! Baca juga ya:
Mengapa Sultan Agung Membunuh 1.250-an Orang Sunda?
"Pelan-pelan berjalan dalam suatu arak-arakan ritual yang ideal," kata Dr HJ de Graaf.
Arak-arakan itu terjadi pada 20 Februari 1745. Tetapi berbeda jauh dengan arak-arakan yang pernah ada sebelum dan sesudahnya.
"Seorang raja benar-benar berjalan bersama dengan seluruh kerajaannya, atau paling tidak, apa yang tersisa darinya," kata De Graaf.
Itulah yang membedakan arak-arakan ini dengan arak-arakan lainnya. Pohon beringin keramat dan bangsal dari keraton lama diangkut beramai-ramai ke lokasi keraton baru.
Oohya! Baca juga ya:
Hari Buruh Sedunia, Perempuan dan Kondisi Kerja yang tidak Layak
"Dicabut dari tempat keramat mereka di akun-alun Kartosuro dan diangkut bagaikan tanaman dalam pot untuk dipindahtanamkan," tulis De Graaf menggambarkan pemindahan dua pohon beringin itu.
Pakubuwono II merebut Kartosuro atas bantuan Kompeni dan orang-orang Madura. Sebelumnya, Kartosuro dikuasai Amangkurat V, sultan baru yang diangkat oleh Bupati Grobogan dan orang-orang Cina di Demak.
Amangkurat V kemudian dinobatkan ulang di Pati oleh Adipati Pati. Setelah itu, mereka merebut Kartosuro.
Pakubuwono II melarikan diri ke Ponorogo. Keraton yang sudah luluh lantak itu kemudian direbut lagi oleh Pakubuwono II.
Amangkurat V oleh Kompeni dibuang ke Srilanka (Ceylon). Dikenallah ia kemudian sebagai Pangeran Selong.
Pakubuwono II kemudian pindah keraton membawa sisa-sisa keraton Kartosuro ke Sala, lokasi keraton baru yang disukai Kompeni. Dua pohon beringin dicabut dan dibawa serta dengan melibatkan para ulama.
Oohya! Baca juga ya:
Ekspor Pangan Sering Ditolak, BSN pun Bertindak
Arak-arakan pindah keraton itu dikawal oleh pasukan Kompeni. Ke lokasi keraton yang baru, jaraknya mencapai 10 kilometer.
"Memang sangat aneh dalam sejarah Jawa. Bahkan, pelarian dari Kerajaan Majapahit tidak berusaha melakukan perpindahan seperti itu ketika keraton mereka dirampas pada tahun 1478," kata De Graaf menunjukkan keheranan khas Barat.
Sesampainya di Solo, bangsal pangrawit ditempatkan pada posisinya. Pakubuwono II kemudian duduk di bangsal pangrawit, dengan opsir dan komandan Kompeni berdiri di sisi kanan.
Prajurit Kompeni dan Matatam berbaris di akun-alun. Pada kesempatan otulah Pakubuwono II mengganti nama Solo menjadi Surakarta Hadiningrat.
Doa pun kemudian dipanjatkan. Setelah itu Pakubuwono II mfmerintahkan penanamxn dua pohon beringin yang diangkut dari Kartosuro.
Oohya! Baca juga ya:
Para ulama yang bertugas menanam dua pohon beringin itu. Pasti ulama-ulama yang memiliki ilmu tinggi karena yang ditanam adalah pohon beringin yang keramat.
Bukan bibit lho yang ditanam, tapi pohon. Pada abad ke-18 orang Jawa sudah memiliki ilmu memindah pohon.
Gamelan dibunyikan mengiringi penanaman pohon beringin. Musik Kompeni juga dimainkan.
Tembakan salvo juga terdengar dari meriam. Komandan Kompeni, Hohendorff, beserta opsir-opsirnya menyaksikan prosesi penanaman pohon beringin oleh para ulama itu.
Ketika penanaman pohon beringin ini dilakukan ada kemungkinkan peserta arak-arakan yang paling belakang belum berangkat dari Kartosuro. Arak-arakan pindah keraton ini dikisahkan cukup besar dengan peserta yang banyak tetapi jaraknya pendek.
"Dinasti Pakubuwono melakukan tindakan ritual yang belum pernah dilakukan dalam sekubung adat suatu arak-arakan raja, dan dengan kawalan Kompeni, dia mendirikan kerajaan baru secara sereminial," kata De Graaf.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Jawa, karya John Pemberton (2003)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]