Tawanan Dilempar ke Kandang Buaya, Perundingan Damai Kompeni - Sultan Agung Terhenti dan Baru Dilanjutkan Lagi Setelah Amangkurat I Jadi Raja Mataram
Kenal dengan orang-orang Belanda yang menjadi tawanan Mataram, membuat Putra Mahkota Mataram Pangeran Adipati Anom memulai pembahasan perdamaian. Itu ia lakukan begitu ia menjadi raja Mataram dengan gelar Susuhunan Amangkurat I.
Ia panggil tawanan yang paling ia sukai. Lalu ia minta tawanan itu pulang ke Batavia untuk menyampaikan permintaannya kepada Kompeni agar mengirim utusan ke Mataram.
Kompeni sudah memulai perundingan perdamaian dengan Sultan Agung sejak 1636. Perundingan terhenti pada 1642 gara-gara Mataram menghukum mati kepala tawanan Antonie Paulo dengan cara melemparnya ke kandang buaya.
"Dengan hukuman kejam terhadap Antonie Paulo, menyebabkan perundingan mendadak terhenti, dan baru dilanjutkan di bawah penguasa baru di Mataram," tulis HJ de Graaf.
Oohya! Baca juga ya: Sarung Muhaimin dan Pakaian NTT Ganjar di Acara Debat Cawapres, Apropriasi atau Apresiasi?
Rupanya Kompeni marah kepada Mataram setelah kepala tawanan itu dihukum mati oleh Sultan Agung. Tetapi yang bisa marah bukan hanya Kompeni.
Mataram juga pernah marah ketika kapal Inggris yang mengantar 18 orang Mataram ke Makkah diserbu Kompeni dan orang-orang Jawa dibunuh dan ditawan. Permintaan Mataram agar Kompeni membebaskan orang-orang Jawa itu tak dikabulkan.
Ternyata Kompeni juga meminta Mataram membebaskan tawanan. Mataram juga tak bersedia membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan di Mataram.
Hubungan Kompeni-Mataram mengalami pasang surut. Kompeni pun menggunakan ancanan tidak akan mengirimkan utusan jika tawanan tidak dibebaskan.
Kompeni lalu berjanji, jika Mataram bersedia membebaskan para rawanan, Kompeni akan mengirim hadiah-hadiah mewah yang akan dibawa oleh utusan. Kompeni menyebut sewaktu-waktu bisa didatangkan dengan segera enam kapal yang membawa banyak intan yang indah, perhiasan, barang langka.
Perundingan-perundingan dilanjutkan secara teratur. Pada 26 November 1637 Kompeni di Batavia mengatakan kepada Sripada bahwa Batavia menunggu kedatangan sebagian terbesar tawanan dari Mataram, secepatnya.
Oohya! Baca juga ya: Menteri KKP akan Buka Lagi Ekspor Benih Bening Lobster, Kiara Sebut KKP Makin Melangkah Mundur
Sripada alias Warga adalah anak buah penguasa Tegal yang dekat dengan Kompeni. Ia menjadi utusan penguasa Tegal, mewakili Mataram.
Jika tawanan telah dikirim ke Batavia, Kompeni berjanji akan memberikan tanda terima kasih yang panras kepada Sultan Agung. Pengiriman para tawanan juga disebut Kompeni "akan menjadi bukti paling jelas bahwa Raja sungguh-sungguh menghendaki perdamaian".
"Jika demikian halnya, Raja tidak akan kekurangan meriam yang bagus, intan, dan barang-barang istimewa," tulis De Graaf mengenai barang-barang yang dijanjikan sebagai hadiah oleh Kompeni.
Setelah menunggu delapan bulan, Kompeni tak juga mendapat jawaban dari Sultan Agung. Berbagai peristiwa di keraton pada 1637 dan tahun berikutnya membuat Sultan Agung belum menaruh perhatian kepada permintaan Kompeni.
Sultan Agung bahkan sempat mengurung diri lebih dari sebulan setelah mendapat laporan bahwa Putra Mahkota telah menculik istri Tumenggung Wiroguno. Setelah itu, Sultan Agung sibuk dengan urusan memberi hukuman kepada mereka yang terlibat kasus ini hingga urusan mengganti Patih Mataram Ngabei Danupoyo dengan Ngabei Dirontoko.
Kompeni harus mendekati patih baru, Ngabei Dirontoko, untuk melanjutkan perundingan. Ada perkembangan yang menggemberakan Kompeni sehingga Kompeni berharap pembebasan tawanan bisa segera dilakukan.
Oohya! Baca juga ya: Masjid Istiqlal Berkolaborasi dengan Pepsodent Tingkatkan Kesehatan Gigi dan Mulut Menjelang Bulan Ramadhan
Kepada Patih Dirontoko, Kompeni menyampaikan puja-puji bahwa ia adalah sahabat Kompeni. Kompeni juga meminta maaf atas tindakan orang-orang Belanda yang membakar rumah-rumah di Lasem, yang disebut sebagai petistiwa di luar kontrol Batavia.
Peristiwa Lasem dipicu oleh penolakan orang-orang Lasem terhadap permintaan air oleh orang-orang Belanda. Tidak terima oleh penolakan itu, mereka laou membakar 20-30 rumah di Lasem.
Pada 1639 Antonie Paulo mengirim surat ke Batavia, memberi tahu bahwa sia-sia belaka menunggu Mataram membebaskan tawanan. Kompeni pun marah, dan mengultimatum Sultan Agung dengan menyebutkan kekuatan Kompeni.
Oohya! Baca juga ya: Cerita Andi Sahrandi tentang Pelajaran dari Kampung Menjelang Pilpres
"Apa pun yang diputuskan oleh Raja Saudara, damai atau perang, kami terima dengan sebang." Demik8an surat Kompeni yang disampaikan kepada Sripada.
Kompeni juga membesarkan hati orang-orang Belanda yang menjadi tawanan. "Di Batavia ada cukup mesiu dan peluru; untuk Malaka kita gunakan 1.200 tong mesiu, dan di sini masih ada dua kali lipat." Demikian isi surat untuk para tawanan di Mataram.
Perundingan lantas terhenti pada 1642 setelah Antonie Paulo dilempar ke kandang buaya, sampai Sultan Agung meninggal pada Februari 1646. Setelah Amangkurat I naik tahta pada Februari 1646, perundingan berlanjut dan tercapailah perdamaian pada September 1646.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)