Lincak

Ribuan Orang Rapat Raksasa di Lapangan Ikada pada September 1945, Apa Itu Lapangan Ikada?

Suasana Lapangan Ikada ketika Sukarno berjalan menuju mimbar Rapat Raksasa Lapangan Ikada.

Tentara Jepang sudah berjaga-jaga di Lapangan Ikada sejak pagi. Namun, rakyat dari berbagai daerah terus berdatangan.

Mereka membawa berbagai senjata –parang, bambu runcing, dan-lain-lain. Untuk bisa masuk ke Lapangan Ikada, mereka harus menyerahkan senjata mereka ke tentara Jepang.

Para mahasiswa dan pemuda telah menyebarkan informasi, pada 19 September 1945 ada Rapat Raksasa di Lapangan Ikada. Tujuannya untuk mendengarkan pidato Presiden Sukarno.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Lima Hal yang Susah Dipahami oleh Orang Luar PSI Setelah Kaesang Disahkan Sebagai Ketum PSI

Karena itulah, rakyat berduyun-duyun ke Lapangan Ikada. Mereka tidak tahu jika Prseiden Sukarno sebenarnya tidak menyetujui rapat ini.

Mereka harus menunggu hingga sore hari. Karena baru sore hari Presiden Sukarno setuju untuk datang.

Sukarno menyebut ada satu juta orang berkumpul di Lapangan Ikada. Rosihan Anwar menyebut hanya ada sekitar 20 ribu orang.

Penulis biografi Sukarno, Bernhard Dahm, pada 1964, juga memilik angka yang berbdea. Seperti dikutip Walentina Waluyanti de Jonge, Dham menyebut ada 200 ribu orang yang hadir di Lapangan Ikada.

Monumen Nasional (Monas) dibangun sejak 1961 di eks Lapangan Ikada, baru selesai 1975. Lokasi ini kemudian dikenal sebagai Lapangan Monas.

Apa itu Lapangan Ikada? Sekarang namanya Lapangan Monas. Di zaman penjajahan Belanda, pemerintah Hindia-Belanda memberi nama resmi Koningsplein (Lapangan Raja).

Pojok barat daya dari Koningplein ini biasa dipakai untuk menggelar Pasar Malam Gambir. Maka, bangsa Indonesia menyebutnya sebagai Lapangan Gambir.

Jepang masuk, mengganti namanya menjadi Lapangan Ikada. Ikada singktan dari Ikatan Atletik Djakarta. Pojok tenggara Koningsplein dijadikan tempat atletik. Pada 1951 dibangun Stadion Ikada di sini untuk penyelenggaran PON II.

Oohya! Baca juga ya: Naik Kereta Api... Whoosh Whoosh Whoosh... Siapa Hendak Turut? Hus....

Setelah Indonesia merdeka, nama Lapangan Ikada sempat diganti menjadi Lapangan Merdeka. Pada 17 Oktober 1957 meriam-meriam TNI dibawa ke Lapangan Merdeka.

Moncongnya diarahkan ke Istana Merdeka, untuk mendukung demonstrasi menuntut pembubaran parlemen.

Pada 1961, Presiden Sukarno memulai pembangunan Monumen Nasional (Monas) di Lapangan Merdeka. Selesai 1975, Lapangan Merdeka lalu dikenal sebagai Lapangan Monas.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- 17 Oktober 1952, editor Bisri Effendy (2001)
- Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, 19 Juli 1930, 02 Juli 1936
- Het Nieuwsblad voor Sumatra, 25 Juni 1952
- Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi karya Rosihan Anwar (1977)
- Mahasiswa ’45 Prapatan-10: Pengabdiannya karya Soejono Martosewojo (1984)
- Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan karya Walentina Waluyanti de Jonge (2015)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi