Sekapur Sirih

Pantai Indah Kapuk (PIK), Kenapa Dulu Orang Kapok ke Sana?

Sabuk pangan di wilayah pesisir utara Kabupaten Tangerang. Garis merah adalah proyek PIK2 yang mulai dijalankan pada Maret 2024, luasnya mencapai 1.920 hektare. Sumber:dokumentasi nextpolicy.org

Dulu namanya Kelurahan Kapuk. Kemudian dipecah menjadi Kelurahan Kapuk Muara di Jakarta Utara dan Kelurahan Kamal Muara di Jakarta Barat. Kelurahan Kapuk Muara sekarang menjadi kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK).

Nama Kapuk ini ternyata bukan berasal dari nama buah randu, kapuk, melainkan dari kata kapok. “...para pendatang baru yang menetap di daerah ini pasti akan kapok (kecewa atau jera),” tulis buku Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Di Kelurahan Kapuk ada Kampung Kayu Besar yang pada 1979 menjadi wilayah RW 04. Di tengah kampung ada pohon besar, berlumut, yang dianggap angker.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Mereka yang bertahan di Kapuk terseleksi dengan sendirinya oleh keadaan. Sebab menurut cerita lisan yang ada di sana, banyak pendatang baru yang jatuh sakit lalu meninggal atau menjadi gila.

Kini, yang tinggal di Pantai Indah Kapuk (PIK) terseleksi oleh harga hunian yang mahal. Kini, warga tak kapok menuntut pengembang untuk menghentikan proyek PIK2 di wilayah Tangerang setelah ada kejadian truk proyek menabrak anak.

Pohon besar di Kampung Kayu Besar itu disebut-sebut berasal dari dua buah pohon yang tumbuh menjadi satu. Empat orang dewasa yang membentangkan tangan, tak cukup untuk merangkul separuh lingkar batang pohon itu.

Di bawah pohon besar itu sering diadakan selamatan. Seekor kambing dipotong untuk selamatan itu, agar makhluk halus penghuni pohon itu tidak mengganggu masyarakat.

“Setiap tahunnya ada upacara selamatan sedekah bumi, yang dilakukan agar mereka terhindar dari penyakit, agar pertanian mereka mendapat hasil yang baik, dan sebagainya,” tulis buku Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Pada tahun 1970-an, warga Kapuk bertani dengan menanam pusang, papaya, singkong, jambu, melinjo, jagung, kangkung, genjer, bayam, selada, terong, cabai, dan lain-lain. Mereka menjualnya di Cengkareng dan Grogol, dibawa dengan pikulan.

Berjalan melalui jalan setapak, banyak sayur yang sudah layu sesampai di pasar di Cengkareng dan Grogol. Pada 1970-an itu, ada juga warga yang menjadi buruh pabrik, menjadi pedagang keliling menjual ikan yang mereka beli dari pasar ikan.

Khusus warga Kampung Kayu Besar, yang menjadi petani pada tahun 1979 mencapai 50 persen. Buruh 26 persen, pegawai 15 persen, pedagang enam persen, pengusaha dua persen. Lain-lain ada satu persen.

Tentu saja, pada tahun itu, mereka sudah tidak lagi mengadakan selamatan sedekah bumi di bawah pohon besar. Pohon itu sudah lama tumbang.

Suatu hari, dukun di kampung itu sedang berteduh di bawah pohon karena hujan. Ia didatangi seorang kakek pengembara, yang lalu ia ajak menginap ke rumah.

Tapi si kakek itu tidak mau mandi. Ia malah mengacungkan tangannya, sehingga jarinya yang rata terlihat, lalu memberi tahu bahwa pohon besar akan tumbang. Sekejap kemudian si kakek menghilang.

Pohon itu memang roboh, batangnya terbelah menjadi empat, tumbang ke empat arah mata angin. Selamatan sedekah bumi tetap diadakan meski pohon besar itu sudah tumbang, dan baru hilang setelah kemerdekaan.