Anak Raja Majapahit yang Dibuang ke Grobogan Ini Berbeda Nasib dengan Saudaranya yang Bernama Raden Patah
Saat putri dari Campa itu mengandung, Raja Majapahit Brawijaya V menceraikannya. Ia kemudian dinikahi oleh Arya Damar, adipati Majapahit yang memegang wilayah Palembang. Lahir, Arya Damar menamai anak Brawijaya itu sebagai Raden Patah.
Ketika Raden Patah menginjak remaja, Arya Damar menginginkan Raden Patah menggantikannya menjadi penguasa di Palembang. Raden Patah belum siap, dan diam-diam, pada malam hari ia keluar dari Istana agar tidak dijadikan raja oleh ayahandanya. Ia kemudian tinggal di hutan Bintoro di Demak.
Cerita Raden Patah berdiam di hutan Bintoro meredam segala keinginan duniawi didengar hingga Majapahit. Di telinga Brawijaya, Raden Patah didengar sebagai orang suci. Ia meminta patihnya untuk memanggil orang ini, setelah Brawijaya mendapat kabar dari Buyut Masahar bahwa anaknya dari putri dari Campa yang lain sudah dibunuh oleh Buyut Masahar di usia delapan tahun.
Oohya! Baca juga ya: Sambaran Petir dan Kalimat Sakti 'Gandrik, Cucu Ki Ageng Selo' di Kawasan Pegunungan Kendeng
Anak itu dibunuh karena Brawijaya mendapat bisikan akan membawa petaka di masa depan. Begitu anak itu lahir, ia menitipkannya kepada Buyut Masahar, petugas Kerajaan yang mengurusi sawah. Namun oleh Buyut Masahar, anak itu tidak dibunuh, ia kemudian menitipkannya kepada sahabatnya di Grobogan, yaitu Jaka Tarub. Buyut Masahar menamai anak itu Bondan Kejawan.
Jaka Tarub menikahi bidadari, Nawangwulan, memiliki anak perempuan, Nawangsih. Seumuran dengan Bondan Kejawan. Setelah dewasa, Bondan Kejawan yang hidup sebagai petani dan pendakwah dinikahkan dengan Nawangsih. Lahirlah Getas Pandawa. Getas Pandawa berumah tangga, lahirlah Ki Ageng Selo.
Kembali ke cerita Brawijaya V yang memanggil Raden Patah. Saat bertemu, Brawijaya merasa wajah Raden Patah mirip dengan dirinya. Lalu ia akui sebaga anaknya, ia jadikan sebagai adipati Bintoro. Brawijaya juga memberinya 10 ribu prajurit. Tugas pertama adalah membuka hutan Bintoro. Di kemudian hari, Raden Patah menjadi raja Demak Bintoro, kerajaan baru yang berdiri setelah Majapahit runtuh.
Oohya! Baca juga ya: Melihat Pintu Bledhek Tiruan, Ukiran Gambar Petir yang Ditangkap Ki Ageng Selo
Ketika remaja, Ki Ageng Selo berkeinginan men jadi prajurit Demak, tetapi ia tidak lulus ujian, saat diminat bertanding melawan banteng. Ia memang berhasil mengalahkan banteng dengan sekali pukul. Tetapi, Ki Ageng Selo memalingkan muka karena tak berani melihat darah yang mengucur dari kepala banteng. Raden Patah menganggapnya sebagai kelemahan, sehingga Raja Demak itu menolak cucu saudaranya sendiri, cucu dari Bondan Kejawan.
Di kemudian hari, Ki Ageng Selo --yang juga menjadi petani dan pendakwah-- menurunkan raja-raja Mataram Islam. Darah Majapahit dari Bondan Kejawan menetes ke raja-raja Mataram Islam melalui Ki Ageng Selo.
Oohya! Baca juga ya: Di Desa Selo di Pegunungan Kendeng, Orang tak Bisa Pakai Uang Digital untuk Beli Nasi
Makam Ki Ageng Selo ada di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Makam Joko Tarub, mertua Bondan Kejawan, ada di Desa Tarub, juga di Kecamatan Tawangharjo. Sedangkan makam Bondan Kejawan ada di Sleman, Yogyakarta.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi, Buku I, penerjemah Amir Rochyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya SOndakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi