Lincak

Diminta Siapkan Tiang Bendera untuk Proklamasi, Anggota Barisan Pelopor: Tiangnya Satu Ataukah Dua?

Bendera Merah Putih dikibarkan di tiang bambu pada hari Proklamasi Kemerdekaan. Saat diminta untuk menyiaapkan tiang bendera, anggota Barisan Pelopor bertanya,
Bendera Merah Putih dikibarkan di tiang bambu pada hari Proklamasi Kemerdekaan. Saat diminta untuk menyiaapkan tiang bendera, anggota Barisan Pelopor bertanya, "Tiangnya satu ataukah dua?" (foto: repro buku 'dari proklamasi ke perang kemerdekaan', 1987)

Tiang bendera pada saat Proklamasi Kemerdekaan dibuat dari bambu. Kata Sukarno, dipotong tergesa-gesa, sehingga hasilnya kasar. Tapi bagaimanapun, tetap dipakai untuk mengerek bendera Merah Putih setelah pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan.

Oohya! Baca juga ya:

Tanpa Persiapan, Siapa yang Siapkan Bambu untuk Pengerekan Bendera pada Proklamasi Kemerdekaan?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kehidupan Tetap Berjalan Normal Setelah Proklamasi Kemerdekaan Aampai Awal September

Pusat Gerakan Pemuda/Pelajar di Jakarta pada Masa Proklamasi Kemerdekaan

Tiang disiapkan oleh anggota Barisan Pelopor. Begitu tiba di Pegangsaan Timur 56, Ketua Barisan Pelopor Sudiro memerintahkan Suhud menyiapkan tiang bendera. Suhud memanfaatkan batang bambu yang ada di rumah Sukarno. Untuk membantu Suhud, Sudiro juga memerintahkan satu orang lagi dari Barisan Pelopor.

Pada saat itulah Sudiro mendapat pertanyaan, yang membuat Sudiro memarahinya. Rekan Suhud sesama anggota Barisan Pelopor itu bertanya, “Tiangnya satu ataukah dua?”

Memang tidak salah pertanyaan itu, jika diajukan pada hari-hari biasa. Sebab selama beberapa bulan menjelang Proklamasi Kemerdekaan, selalu ada dua tiang bendera. Satu untuk bendera Hinomaru, satu untuk Merah Putih. “Jauh di muka rumah Bung Karno memang sudah ada dua tiang besi, tetapi yang akan kita perlukan hari itu ialah sebatang tiang, tepat di mua kamar depan, hanya beberaa meter saja dari ‘teritis’ rumah,” kata Sudiro.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:

Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.

Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945 karya Sudiro.