Mengenang Ade Sugondo yang Pernah Menolak Suap di DPR, Dia Ibunya Kikan Cokelat
Oleh Syafiril Erman, penulis novel Kepundan (Bentang, 2006), bergiat di Komunitas Jejak Republik
Selasa, 8 Agustus 2023, pukul 13.20 aku makan di warung Padang dekat kampus Universitas Telkom Bandung bersama Meldi. Baru saja hidangan tersaji, Meldi menyodorkan kiriman pesan WA dari Jati Kusumo, isinya sungguh mengejutkan : Hari itu, pukul 13.15 WIB, Ade Sugondo, ibu dari Kikan Cokelat, meninggal dunia.
Andai aku pencipta lagu seperti Titik Puspa, pasti saat itu sudah kugubah semacam lagu B”ing” yang fenomenal dan legendaris itu. Bagiku, dan bagi Meldi, juga bagi Jati Kusumo, Ade Sugondo bukanlah orang biasa. Kami pernah terlibat secara intens dan personal dengan beliau, baik dalam urusan bisnis, maupun urusan pergerakan pro demokrasi era awal menjelang Reformasi 1998.
Aku dan Ade Sugondo berada dalam satu organisasi kemahasiswaan : Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB), tentu saja kami beda angkatan cukup jauh. Aku 1987, beliau PMB angkatan 1970. Saat aku masih menjadi Anggota Muda di PMB, nama Ade Sugondo sudah menguar harum di sekretariat kami. Ade Sugondo loyal terhadap PMB, dan berintegritas, yang membuat diskusi-diskusi bersamanya selalu berasa nyaman.
Aku masih ingat betul, saat itu aku dan beberapa teman di PMB menggelar pertunjukan teater, lagu balada, dan pembacaan puisi di halaman sekretariat PMB, sebuah event kritik sosial melalui medium seni teater, lagu balada, dan puisi yang kerap kami selenggarakan. Kala itu tema yang kami angkat adalah peringatan pemberlakuan DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh.
Selain artis teater dan “musisi bawah tanah” yang menjadi langganan mentas di sana : Harry Roesli, Doel Sumbang, Mukti Mukti, Dede Harris, Keroncong Rindu Order (Unpad), Tony Broer beserta grup teater ASTI-nya, kami mendatangkan dua anak Aceh yang menyaksikan sendiri betapa ganas Operasi DOM tersebut telah merenggut nyawa orangtuanya. Kedua anak Aceh tersebut memberikan kesaksian di atas panggung tentang peristiwa tersebut.
Kehadiran dan kesaksian kedua anak tersebut tentu saja menarik empati dan simpati ratusan audiens atau pengunjung yang sebagian besar adalah mahasiswa Bandung. Tema dan materi event sederhana tersebut ternyata menarik perhatian dari beberapa media koran nasional. Esok hari, peristiwa tersebut pun menjadi headline di koran-koran.
Ade Sugondo pun mengetahui. Tak berapa lama kemudian, Ade Sugondo pun menghubungi aku dan meminta untuk memboyong pertunjukan tersebut, lengkap dengan seluruh talent-nya untuk mentas di kafé miliknya di kawasan Blok M: Classic Rock Stage. Dengan tiga bus besar, boyongan pun berangkat, dan mentas di Classic Rock Stage. Saat itu konsolidasi mahasiswa nasional sedang terjadi dan mengalami eskalasi.
Lalu terjadilah peristiwa Reformasi. Melalui Yayasan Bagimu Negeri yang berbasis di Jenggala, barisan ibu-ibu yang dipelopori oleh Ade Sugondo, rutin menggalang gerakan kemanusiaan dengan menyediakan nasi bungkus dan perlengkapan pribadi seperti perlengkapan mandi bahkan celana dalam kepada mahasiswa yang sudah mulai menduduki gedung MPR.
Menjelang Sidang Umum MPR pemilihan Presiden pasca-Reformasi, PDIP sedang gemerlap sebagai partai pengusung demokrasi dan perubahan. Aku mendengar kabar bahwa Ade Sugondo beserta rekan-rekannya sesama anggota alumni PMB bergabung dengan PDIP dan kemudian menjadi legislator dari PDIP. Saat itu Ade Sugondo menghubungiku untuk mengajak menjalankan agrobisnisnya kala itu yakni budidaya dan ekspor buncis Prancis. Agrobisnis pada masa itu memang sedang booming dan menjadi leading sector, pokoknya semua orang seperti berebut untuk berbisnis di sektor pertanian.
Aku pun menghubungi beberapa teman dekat sesama anggota PMB untuk membahas tawaran tersebut, akhirnya kita putuskan bahwa kita akan ambil tawaran tersebut. Aku pun datang ke kantor Ade Sugondo, APS (Andrawina Praja Sarana) di Jalan Ampera Raya. Aku sempat dibuat terkejut.
“Lu bantu gue jalanin bisnis buncis Prancis ini bersama Philippe. Lu tanam buncis sebanyak-banyaknya, cari lahan sebanyak-banyaknya di Jabar, organisir petani, dan lain-lain, sistem plasma,” kata Ade Sugondo. Biayanya? “Gua kasih biaya berapa pun yang lu butuhin, sebagai pinjaman secara personal,” lanjutnya.
Mati aku!! Tapi aku kan butuh tim.
“Bikin proposal usaha, masukkan biaya tim,” kata Ade Sugondo.
Sampai di Bandung, langsung kami rapatkan. Jadilah proposal tersebut, dan jadilan kami sebagai petani. Aku, Adolf Runturambi, Priyantono Oemar, Harris Harlianto. Lalu belakangan kami merekrut anggota junior yang lain.
Lalu Ade Sugondo pun menjadi anggota DPR di komisi yang mengurusi pertanian. Untuk menjadi anggota komisi tersebut tentu saja butuh portofolio. Saat itu kebun-kebun kami sudah tersebar di mana-mana di seluruh Jabar. Setiap kali diwawancara media massa, kebun-kebun kami itulah yang di-“laporkan”
Lalu dunia politik nasional memanas kembali. Melalui koran, dan tayangan televisi, Ade Sugondo membuat gebrakan yang cukup berani saat itu. Pada 2002, bersama Bambang Widjojanto, pengacaranya, Ade Sugondo mendatangi Mabes Polri dan membeberkan praktik sogok yang mulai menjamur di Senayan kala itu. Sebelumnya Ade Sugondo merilis bahwa dalam proses divestasi Bank Niaga, Ade Sugondo mengaku menerima uang dalam amplop senilai 1.000 dolar Amerika Serikat, yang langsung dia tolak.
Jagad politik nasional pun sempat dibuat bergetar oleh gerakan Ade Sugondo tersebut. Saat itu Presidennya Megawati. Ade Sugondo, yang di awal-awal perjuangan PDIP menapak menuju parlemen selalu terlihat serasi di samping Megawati yang, setiap muncul Megawati selalu ada Ade Sugondo di sampingnya itu, pun akhirnya memilih untuk mundur sebagai anggota DPR. Tak lama kemudian, bersama Teten Masduki, dan kawan-kawan, Ade Sugondo mendirikan Bung Hatta Anti-Corruption Award.
“Selamat jalan Ade Sugondo, dia orang baik yang memiliki integritas,” balas pesan WA dari salah satu temanku.
Integritas, adalah nilai yang melekat pada sosok pemilik nama lengkap Indira Damayanti Sugondo ini. Seribu dolar baginya yang sudah kaya dan terbiasa sejak kecil ini tentu kecil, tapi tentu saja bukan itu yang hendak beliau sampaikan kepada kita semua.Integritas sebagai figur wakil rakyat, itu yang harus terus dijaga kehormatannya.
“Jika menjadi politisi, jadilah politisi yang berintegritas. Mudah itu ,” ujar Ade Sugondo saat diskusi kecil bersama beberapa senior di rumah senior di kawasan Cirendeu yang banyak kijangnya itu.
Andai ada 10 orang saja sekaliber Ade Sugondo di Gedung DPR itu, niscaya rakyat takkan seburuk ini menilai DPR. Andai ada 10 orang saja sekaliber Ade Sugondo di Republik ini, niscaya rakyat takkan kehilangan cahaya harapan masa depan.
Selamat jalan Bu Ade Indira Sugondo. Damai di sisi-Nya. Bulan depan sebenarnya kami berniat menyelenggarakan reuni Alumni Buncis Perancis, tapi Allah terlalu merindukanmu dan memanggilmu secepat ini.
Alfatihah.
Editor: Priyantono Oemar