Cermin 78 Tahun Indonesia di Perilaku Menjengkelkan Pengunjung Kafe Kopi Kelas Menengah
Lima tahun lebih, hampir tiap minggu saya nongkrong di kafe kopi. Kafe untuk kelas menengah. Selain menggarap naskah, saya juga memperhatikan perilaku para pengunjung. Layanan kafe ini tidak mengantar pesanan ke meja pengunjung, melainkan pengunjunglah yang mengambil sendiri pesanan yang sudah siap.
Oohya! Baca juga ya:
Indonesia Lebih Nendang daripada Nusantara
Indonesia Memiliki Sebutan Zamrud Khatulistiwa, Siapa Pencetusnya?
Suatu hari ada ibu-ibu yang mengotot pesanannya diantar. Barista menjelaskan tiadak ada layanan antar. Si ibu-ibu ini mengomel, yang intinya tetap minta diantarkan. Ketika pesanan jadi, barista meletakkan pesanan ke meja pengambilan lalu mempersilakan si ibu mengambil pesanannya. Si ibu tetap minta pesanan diantar, tetapi barista memilih mengerajakan pesanan pengunjung lain.
Meja tepat si ibu duduk hanya berjarak 1,5 meter dari meja tempat pengambilan pesanan. Akhirnya ia mengambil sendiri pesanan setelah tahu barista tidak menggubrisnya.
Perilaku seperti ini tak hanya dilakukan oleh si ibu. Ada banyak pengunjung yang meminta pesanannya di antar. Barista selalu menyatakan, jika pesanan sudah siap, akan dipanggil namanya.
Tapi ada kalanya barista menawarkan diri akan mengantarnya. Hal itu terjadi ketika ada kesalahan-kesalahan kecil yaitu minuman yang disiapkan tidak sesuai pesanan pengunjung. Maka, setelah menyampaikan pernyataan maaf, barista akan membuatkan lagi pesanannya, dan kemudian menyatakan jika sudah siap akan diantarkan ke meja pengunjung.
Karena tak ada layanan antar, sudah seharusnya jika pengunjung juga membersihkan sendiri meja sebelum ia pergi. Ada tempat sampah yang disediakan untuk membuang gelas kertas atau tisu setelah dipakai. Namun, banyak pengunjung yang meninggalkan begitu saja di meja, sehingga ketika ada pengunjung lain akan memakai meja itu harus menunggu beberapa waktu karena barista juga sibuk di meja layanan.
Di saat ada pelonggaran di masa pandemi Covid-19, kafe-kafe juga menyesuaikan diri. Jika meja pengunjung yang biasanya satu meja untuk tiga kursi, selama pandemi dikurangi hanya satu kursi dan menjadi dua kursi di masa pelonggaran. Sedangkan meja sosial yang biasanya untuk delapan kursi, selama pandemi hanya untuk empat kursi. Setelah pelonggaran ditetapkan untuk enam kursi.
Suatu hari datang rombongan pengunjung, bersebelas. Mereka memilih meja sosial yang masih kosong, dan mengambil kursi-kursi dari meja lain. Barista mengingatkan agar tetap enam kursi di meja sosial seraya menjelaskan aturan selama pandemi. Si pengunjung ini protes keras, karena di teras terlihat padat pengunjung. Barista terdiam, seperti kehabisan kata-kata untuk menjelaskan.
Saya yang menyaksikan itu, membantu menjelaskan. Teras kategorinya di tempat terbuka dan satu meja tetap untuk dua kursi, bukan tiga kursi. Terlihat padat pengunjung karena di teras ada banyak meja yang terisi.
Banyak yang beralasan mengunjungi kafe adalah membeli pelayanan. Untuk apa harus capek-capek datang dan bayarjika masih harus membawa pesanan sendiri? Untuk apa capek-capek datang dan bayar jika masih harus membersihkan meja setelah memakainya?
Agustus ini, 78 tahun Indonesia. Indonesia maju jika kelas menengahnya juga beres dalam hal-hal kecil ini.
Priyantono Oemar