Apa Kritik Douwes Dekker, Sehingga Anggota Boedi Oetomo Tanggalkan Pakaian Jawa di Masa Pergerakan?

Para pemuda Jawa yang menjadi anggota Boedi Oetomo selalu mengenakan pakaian adat Jawa di setiap rapat. Kain, beskap, dan blangkon –tutup kepala yang memiliki mondolan di bagian belakang.
Oohya! Baca juga ya:
Indonesia Memiliki Sebutan Zamrud Khatulistiwa, Siapa Pencetusnya?
Penampilan itu cocok dengan nasihat Yasadipura II dalam Serat Sasanasunu yang ia tulis pada 1820, seperti dikutip oleh Iman Budhi Santosa:
Dalam Sasanasunu pupuh 3 bait 16, terdapat ajaran mengenai berbusana sebagai berikut: “Rehning anom sawatawis/bareo bareo aja/iku bangsat panganggone/lan den nganggo masa kala/lulungan pasamuwan/jingkengan sawetareku/pepenyon amomondholan.” Artinya: “Karena masih muda, baiklah rapi tetapi secukupnya saja/jangan boros dalam hal pakaian/karena seperti itu cara berpakaiannya penjahat/berpakaian rapi perlu melihat situasi/seperti sewaktu bepergian atau pesta/ikat kepala diatur semestinya/dengan mondolan dan bentuk penyunya.”
Berpenampilan dengan pakaian Jawa, mereka terlihat santun, tetapi terkesan klemar-klemer alias lamban. Maka, Douwes Dekker pun mengkritik penampilan mereka sebagai tidak mewakili karaker pemuda yang diperlukan di masa pergerakan kemerdekaan. Kepada para siswa STOVIA anggota Boedi Oetomo itu, pada 1912 Douwes Dekker berpesan, ”Hilangkan dan buanglah itu semua.”
Di tahun-tahun kemudian, terutama mulai dekade 1920-an, sudah banyak pemuda Jawa yang mengenakan celana, jas, dan peci. Roeslan Abdoelgani pernah menanyakan alasan Douwes Dekker mengkritik penampilam pemuda Jawa dengan pakaian Jawa itu. “Och, Roeslan, onze jongens moeten brutal zijn even brutal als de Nederlanders,” jawab Dekker.
Roeslan menceritakan hal itu saat menyampaikan pidato “Pembinaan Kesatuan Bangsa” pada pembentukan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) Cabang Bandung, 15 Juli 1963. Artinya: “Oh, Roeslan, pemuda kita harus kurang ajar seperti kurang ajarnya pemuda Belanda.”
Pada zaman revolusi kemerdekaan, kain dan mondolan blangkon itu pernah menjadi bahan poyokan orang pesisir utara yang masuk Yogyakarta. Melihat mondolan di blangkon --seperti diceritakan Sukarno dalam suratnya kepada Douwes Dekker— orang pesisir utara itu menceletuk, “Apa itu, zaman perjuangan, granatnya tidak dilempar, tetapi disimpan di belakang kepala.”
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Capita – Selecta: Pembinaan Kesatuan Bangsa (28 Oktober 1928 – 28 Oktober 1964) Dalam Rangka Nation Building & Character Building karya CST Kansil dan kawan-kawan
Spiritualisme Jawa karya Iman Budhi Santosa
