Mengapa Belanda tak Mau Akui Kekejaman Selama Perang Kemerdekaan Indonesia Sebagai Kejahatan Perang?
Anggota parlemen Belanda dari Partai Groenlinks mengecam penggunaan istilah "kekerasan ekstrem" oleh pemerintah Belanda. Kecaman itu dilontarkan saat mengawali debat Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945-1950, Rabu (14/6/2023) di parlemen Belanda.
Oohya! Baca juga ya: Debat Kejahatan Perang Vs Kekerasan Ekstrem Terkait Pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh Belanda
Debat didasarkan pada hasil penelitian mengenai hal itu yang dibiayai oleh pemerintah senilai 4,1 juta euro. Penelitian dilakukan oleh Koninklijke Instituut voor Taal, Land, en Volkunde (KITLV), Nederlands Instituut voor Militaire Historie (NIMH), dan Nederlands Instituut voor Oorlogdocumentatie (NIOD). Penelitian mengungkap secara detail kekejaman yang dilakuan militer Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia 1945-1950.
“Kekerasan ekstrem adalah konsep menyeluruh dalam penelitian ini. Penting bagi pemerintah untuk mengakui bahwa ini juga termasuk kejahatan perang. Ini sesuai dengan kerangka hukum saat itu. Bahkan kemudian, ‘kejahatan perang’ adalah istilah yang digunakan di kalangan ahli hukum, diterapkan pada Perang Kemerdekaan Indonesia,” kata Ellemeet, angotaa parlemen dari Partai Groenlinks itu, seperti tercatat dalam stenogram yang ditayangkan di tweedekamer.nl.
Ellemeet mengakui, ia melontarkan hal itu untuk melakukan keadilan terhadap realitas sejarah dan hukum saat itu. Pada saat itu, kata dia, merupakan praktik umum untuk menghukum kejahatan perang di bawah hukum humaniter internasional melalui hukum pidana nasional, bahkan jika menyangkut konflik nasional. “Sejarah akan dilanggar jika kabinet tidak mengakui hal ini. Itu seharusnya bukan hasil dari perdebatan ini. Saya meminta Perdana Menteri, dari historika ke historikus : berlaku adil terhadap fakta sejarah,” kata Ellemeet.
Ellemeet menegaskan, istilah “kejahatan perang” yang digunakan Fraksi Groenlinks merujuk pada semua penderitaan yang menimpa semua korban, baik yang menyangkut orang Indonesia, Belanda yang tinggal di Indonesia saat itu, maupun para veteran. “Jadi, saya juga memperhatikan penderitaan yang dialami orang Belanda di sana. Itu benar-benar mengerikan,” kata dia.
Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, memiliki alasan kuat mengenai tidak digunakannya istilah kejahatan perang. “Karena saya mendasarkan diri pada Konvensi Jenewa 1949. Baru setelah itu Perang Kemerdekaan dianggap sebagai sesuatu yang dapat dilanggar hukum humaniter internasional. Penafsiran kami adalah bahwa pelanggaran ini hanya dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan perang sejak tahun 1949 dan seterusnya,” jelas Rutte.
Priyantono Oemar