Debat Kejahatan Perang Vs Kekerasan Ekstrem Terkait Pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh Belanda
Rabu (14/6/2023) Kabinet Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Pada Rabu itu, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte ikut hadir dalam debat mengenai “Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesi 1945-1950”. Debat diadakan berdasarkan hasil penelitian yang dibiayai pemerintah Belanda mengenai hal itu.
Laporan penelitian menyebut detail adanya kekerasan yang oleh peneliti dan pemerintah disebut kekerasan ekstrem. “Kesimpulan utama para peneliti itu menyakitkan. Ada kekerasan struktural dan ekstrem, yang menjadi tanggung jawab angkatan bersenjata sebagai institusi dan kepemimpinan politik pada saat itu,” kata Rutte seperti tercatat dalam stenogram debat yang ditayangkan di tweedekamer.nl.
Menurut Rutte, para peneliti sengaja memilih istilah "kekerasan ekstrem" dalam laporan mereka karena lebih luas daripada "kejahatan perang". Ada dua istilah kejahatan perang di dalam bahasa Belanda: "oorlogsmisdrijven" dan "oorlogsmisdaden". “Oorlogsmisdrijven" dan "oorlogsmisdaden" adalah istilah yang tumpang tindih. “Yang satu sedikit lebih legal daripada yang lain,” kata Rutte.
Tanpa memggunakan istlah “oorlogmisdrijven” lanjut Rutte, keseriusan kekerasan itu juga jelas tergambar. “Jadi, izinkan saya memulai dengan mengatakan bahwa tidak digunakannya istilah hukum "kejahatan perang" tidak mengurangi keseriusan kesimpulan penyelidikan dan penderitaan yang ditimbulkannya terhadap rakyat Indonesia,” kata Rutte.
Ellemeet dari Partai GroenLinks membuka perdebatan pagi itu. “Izinkan saya pertama-tama menyatakan bahwa Perang Kemerdekaan ini telah menyebabkan penderitaan yang tak terhitung kepada semua yang terlibat: orang Indonesia, orang Belanda yang tinggal di sana, para veteran dan generasi berikutnya,” kata Ellemeet.
Ia menyatakan betapa sulitnya memahami hal yang telah dilakukan perang ini dan akibatnya. “Oleh karena itu, bagi saya, perdebatan ini dimulai dengan pengakuan tegas atas penderitaan tersebut, dan dengan seruan kepada kabinet untuk memberikan keadilan kepada para korban jika memungkinkan. Sekarang tergantung pada pemerintah untuk menindaklanjuti penyelidikan ini,” lanjut Ellemeet.
Tetapi pemerintah beranggapan bahwa istilah “kejahatan perang” baru digunakan pada 1949. “Secara hukum kami sampai pada kesimpulan bahwa Anda tidak dapat menggunakan istilah itu sekarang. Ini juga berkaitan dengan fakta bahwa sebelum Konvensi Jenewa 1949, hukum pidana dan hukum internasional belum memuat kriminalisasi pelanggaran hukum humaniter internasional sebagai kejahatan perang selama non-konflik internasional,” jelas Rutte.
Ellemeet menyatakan, istilah “kejahatan perang” sudah digunakan pada 1939, sebelum Perang Dunia II. “Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg menyatakan bahwa sudah pada tahun 1939, jadi sebelum Perang Dunia Kedua, semua negara beradab mengakui bahwa Konvensi Den Haag dan Landoorlogreglement itu sah dan bahwa mereka juga memasukkan daftar kejahatan perang. Dalam doktrin waktu itu sudah ada konsensus bahwa kejahatan perang didefinisikan dalam hukum internasional,” jelas Ellemeet.
Priyantono Oemar