Cara Warga Baduy Menjaga Keseimbangan Alam Lewat Pakaian
Suatu saat, beberapa orang Baduy Dalam diajak makan di mal di Jakarta Selatan. Mereka mengenakan jamang (baju), aros (sarung selutut warna hitam motif garis-garis putih), dan telekung (ikat kepala warna putih. Ikat kepala yang dipakai warga Baduy Luar berwarna biru, disebut lomar).
Mereka juga membawa jarok (tas dari kulit kayu) atau koja (tas dari kulit kayu). Ada juga yang membawa gandongan (kain putih/hitam yang dipakai untuk membawa barang). Tanpa alas kaki. Golok mereka dititipkan di petugas keamanan.
Penampilan mereka tentu menarik perhatian pengunjung. Banyak pengunjung yang meminta untuk berfoto bersama.
Jamang Baduy berwarna hitam dan putih. Warna ini, kata T van Deel di koran Trouw edisi 8 Agustus 1991, merupakan persekutuan material dan spiritual dalam kisah konsentris dunia Baduy. Masyarakat Baduy hanya memiliki satu titik tetap, yaitu tempat suci yang tinggi di gunung.
Dunia Baduy secara konsentris terbagi menjadi Baduy Dalam, Baduy Luar, dan seluruh dunia. Semuanya berputar di sekitar inti yang kokoh dan tidak tersentuh. Pusat keagamaan itu menciptakan masyarakat yang terus-menerus membuat hubungan antara roh dan materi.
Masyarakat Baduy Dalam mengenakan pakaian putih karena tinggal paling dekat dengan tempat suci. Masyarakat Baduy Luar mengenakan pakaian hitam atau biru tua, karena mereka relatif dekat dengan dunia.
Masyarakat Baduy Dalam dari dulu selalu mengenakan pakaian yang ditenun dari bahan alam. “Masyarakat Kajeroan menggunakan busana yang khas dan hal itu (urusan sandang) diatur oleh sejumlah larangan, misalnya harus ditenun dari kapas – katun – atau dari lembar daun rotan, diolah dan ditenun sendiri,” tulis Nicolaas JC Geise di buku Baduijs en Moslims yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 2022. Ia menyebut Kajeroan untuk Baduy Dalam.
Yang dipakai orang-orang Baduy sekarang jamang dari bahan linen, campuran katun dengan linen, bahkan ada yang masih murni belacu, yang warna kainnya masih putih gading. Masyarakat Baduy Luar banyak yang menjual pakaian Baduy, baik untuk para pengunjung maupun untuk keperluan orang-orang Baduy.
Bahan linen ramah lingkungan, sehingga tidak menjadi sumber limbah pakaian. Dengan begitu, mereka dari dulu sudah menjaga kesimbangan alam.
Meski mudah kusut, harga pakaian berbahan linen cukup aduhai. Pakaian dari linen yang dijual UMKM di Sarinah, harganya hampir Rp 700 ribu per potongnya. Celana linen merek Giordano harganya di kisaran Rp 600 ribu. Tapi untuk baju perempuan merek Giordano, harganya tak lebih dari Rp 300 ribu per potong. “Di Baduy, saya jual Rp 150 ribu per potong,” ujar Emen Sarta, warga Baduy Luar di Kampung Kaduketug, Desa Kanekes.
Di Baduy Dalam, sabun dipantang. Lantas bagaimana mereka mencuci baju? “Waktu ke Baduy, saya lihat ada yang sedang mencuci baju mereka di atas batu kali, tanpa menggunakan sabun,” ujar Andi Kim, koordinator Merdeka Hiking Club (MHC) Bandung, yang ke Baduy pada akhir Mei 2023. “Kami, Baduy Luar, sudah menggunakan sabun cuci untuk mencuci baju,” ujar Emen Sarta, warga Baduy Luar di Kampung Kaduketug, Desa Kanekes.
Mandi? Mereka juga tidak menggunakan sabun mandi. Mereka memanfaatkan batang honje (Etlingera elatior) yang sudah dikeprek untuk diusap-usapkan di badan ketika mandi. Bau batang honje cukup harum. “Di pemandian perempuan, disediakan batang honje keprek,” ujar Lilis, anggota MHC yang ikut pergi ke Baduy, Mei lalu.
Priyantono Oemar