'Ngopi Dulu' Agar yang di Bawah tidak Bertengkar Terus
Bangsa kita memang memiliki kebiasaan ini: Kopi dulu. Kepagian tiba di bandara, yang dilakukan adalah "ngopi dulu". Pagi itu, Ahad (23/7/2023), kami pun kepagian tiba di Bandara Minangkabau, Padang.
Oohya! Baca juga ya: Kopi Dulu, Hidup Santai di Indonesia yang Dicatat Penulis Inggris
Berangkat dari Bukittingi pukul 03.40 WIB, tiba di bandara pukul 05.30 WIB. Setelah shalat Subuh, pilihannya adalah "ngopi dulu". Di teras bandara, adanya warung biasa yang menyediakan kopi hitam. Di antara kami, ada pula beberapa pengunjung lain yang juga "ngopi dulu".
Jadwal masuk pesawat adalah pukul 07.50 WIB, tetapi ternyata mengalami keterlambatan satu jam. Kami pun kemudian juga memilih "ngopi dulu". Di dekat ruang tunggu ada warung kopi Solok Radjo, yang menyediakan kopi dari Solok. Beberapa penumpang lain juga "ngopi dulu" di warung ini.
“Frustrasi dengan jam karet sistem transportasi-cepat-dan-tunggu? Segera pesan kopi dan segalanya akan berjalan dengan cepat,” tulis Mark Eveleigh di buku Kopi Dulu. Sambil berbincang dengan barista Solok Radjo dan memperhatikan cara barista itu menyiapkan kopi pesanan dari pengunjung lain, waktu memang berjalan begitu cepat. Kopi belum habis, jadwal masuk pesawat, 08.50 WIB, sudah tiba.
Di kota-kota besar dengan lalu lintas yang sering macet, untuk menghindari macet banyak yang memilih "ngopi dulu". Ketika Presiden Jokowi di Harlah PKB bilang “capres pada ngopi, yang di bawah pada bertengkar”, tentu saja para capres itu sedang tidak menunggu kendaraan politik yang terlambat datang.
Untuk menghindari “yang di bawah bertengkar” Presiden Jokowi perlu memerintahkan Menkominfo mencegah media sosial digunakan untuk memproduksi hoaks dan misinformasi terkait dengan capres. Perintah kepada Menkominfo yang baru seharusnya bukan mencegah media sosial dipakai untuk jualan produk, melainkan mencegah media sosial dipakai untuk jualan hoaks dan misinformasi. “Yang di bawah bertengkar” rata-rata gara-gara hoaks dan misinformasi yang disebar lewat media sosial.
Priyantono Oemar