Lincak

Penggunaan Bahasa Indonesia di Volksraad Juli 1938, Thamrin: Agar Bahasa Indonesia tidak Terdesak

Gedung Pancasila di Jalan Pejambon, Jakarta Pusat, dulu merupakan gedung Volksraad. Di gedung inilah anggota Fraksi Nasional ramai-ramai menggunakan bahasa Indonesia pada Sidang Volksraad Juli 1938 (foto: raisan/dok republika).
Gedung Pancasila di Jalan Pejambon, Jakarta Pusat, dulu merupakan gedung Volksraad. Di gedung inilah anggota Fraksi Nasional ramai-ramai menggunakan bahasa Indonesia pada Sidang Volksraad Juli 1938 (foto: raisan/dok republika).

Sekitar 500 orang sebagai wakil dari 138 perhimpunan dan 21 wakil dari surat kabar menyimak pidato Soedarjo Tjokrosisworo. Pada pembukaan Kongres Bahasa Indonesia Pertama pada 25 Juni 1938 malam itu Soedarjo selaku ketua panitia membacakan telegram dukungan dari MH Thamrin, ketua Fraksi Nasional Volksraad.

Selamat berkongres, serta mempermakloemkan Fraktie Nasional Volksraad akan berpidato bahasa Indonesia pemandangan oemoem sebagai penghargaan kongres.

Fraktie Nasional

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Thamrin

Peserta Kongres Bahasa pun bertepuk tangan menyambut telegram dari Thamrin itu. Di Volksraad, Fraksi Nasional pimpinan Thamrin kemudian menggunakan bahasa Indonesia pada sidang di bulan Juli 1938. Jahja Datoek Kajo menjadi orang pertama yang menggunakan bahasa Indonesia ketika mendapat kesempatan menyampaikan pandangannya setelah Koesoemo Oetojo pada sidang hari Senin, 11 Juli 1938.

Jahja Datoek Kajo berbicara tentang hubungan Indonesia-Belanda yang sudah berabad-abad sebagai pengantar pidatonya. Ia menyayangkan belum ada hubungan yang erat antara orang Indonesia dan orang Belanda meski sudah berabad-abad berinteraksi. Hal itu juga terjadi dalam penggunaan bahasa, yang menurutnya, 99,9 persen orang Belanda di Indonesia tak memahami bahasa Indonesia, meski orang Indonesia sudah banyak yang memahami bahasa Belanda. Ketika menyampaikan hal ini, ia mendapat interupsi dari anggota Belanda: “Apa itu bahasa Indonesia?”

Ruang sidang pun bergemuruh setelah interupsi itu, membuat ketua sidang berulang mengetukkan palunya. Jahja Datoek Kajo menjawab:

Nanti akan terang pada toean2 apakah maksoed pidato saja ini. Orang Belanda haroes mengetahoei bahasa Indonesia. Djadi oentoeng djoega diboelan Joeni jang laloe di Solo telah dilangsoengkan Congres Bahasa Indonesia jg akan mengembangkan bahasa Indonesia seloeas loeasnja (Darmo Kondo, 14 Juli 1938).

Saat anggota Fraksi Nasional lainnya, Datoek Toemenggoeng, tampil berbicara di sidang Volksraad, pertama-tama ia menggunakan bahasa Belanda. Pidatonya ia tujukan kepada Jan Verboom dari Fraksi Vaderlandsche Club. Verboom mempersoalkan penggunaan bahasa Indonesia dari anggota Fraksi Nasional sehingga menghambat kerja staf stenografer dalam membuat catatan persidangan. Pers pun tak mendapatkan laporan sidang dari para pembicara yang menggunakan bahasa Indonesia hari itu juga. Setelah menanggapi Verboom, Datoek Toemenggoeng beralih berpidato untuk anggota Fraksi Nasional. Saat itu pula, dari menggunakan bahasa Belanda beralih ke bahasa Indonesia. Staf stenografer yang bertugas adalah stenografer bahasa Belanda.

Maka, mendengar Datoek Toemenggoeng menggunakan bahasa Indonesia, staf stenografer bahasa Indonesia dimintakan kepada Sekretaris Volksraad. Karena tak datang juga dan Datoek Toemenggoeng terus berbicara dalam bahasa Indonesia, maka kepala stenogafer yang bekerja di bawah podium lantas berdiri hendak memanggil stenografer bahasa Indonesia. Begitu ia hendak melangkahkan kaki, Datoek Toemenggoeng sudah berhenti berbahasa Indonesia, beralih kembali berbahasa Belanda. Tentu saja, kepala stenografer itu kembali duduk (Soeara Oemoem, 18 Juli 1938).

Kembali ke sidang Volksraad Juli 1938. Pada sidang hari Senin, Piet A Kerstens dari Fraksi Indische Katholieke Partij mengaku tidak keberatan anggota Fraksi Nasional menggunakan bahasa Indonesia, namun ia mencela jika yang dilakukan anggota Fraksi Nasional semata demonstrasi, menjadikan bahasa Indonesia sebagai senjata politik untuk menyerang Wali Negeri. Thamrin pun menginterupsi, menganggap penilaian Kerstens itu sebagai hal yang lucu. Kerstens pun menanggapi bahwa yang ia sampaikan masih ada baiknya, sehingga ia kemudian berharap esok hari pidato Thamrin menyampaikan hal yang baik pula. Lalu Thamrin menjawab, “Pidato saya akan berisi sebaliknya.” (Soeara Oemoem, 13 Juli 1938).

Esok hari, Selasa, 12 Juli 1938, Thamrin tampil berpidato setelah IJ Kasimo dan Notosoetarso. Thamrin memulai pidatonya dengan terlebih dulu mengemukakan alasan penggunaan bahasa Indonesia oleh Fraksi Nasional. "Sekarang saatnya bagi kita untuk mempertimbangkan penggunaan bahasa Indonesia untuk tahun ini karena ternyata ketika kita menggunakan bahasa Indonesia tahun lalu di Volksraad, pemerintah tidak keberatan, meskipun dia menyesalinya,’’ ujar Thamrin di sidang umum Gemeenteraad van Batavia, seperti dikutip Het Volksdagblad edisi 21 September 1939, yang mendapat salinan pidato Thamrin dari Indonesia Vereeniging.

Alasan penggunaan bahasa Indonesia di Volksraad, menurut Thamrin, agar bahasa Indonesia tidak makin terdesak pemakaiannya, karena pemerintah dan badan-badan perwakilan pun memilih menggunakan bahasa Belanda. Rakyat Indonesia menjadi pihak yang dirugikan karena tidak memahami bahasanya dan tidak bisa membaca peraturan-peraturan yang dibuat dalam bahasa Belanda. Orang-orang Indonesia yang terpelajar pun kemudian juga memilih berbahasa Belanda, meninggalkan bahasa Indonesia. Akibatnya mereka tidak membaca koran Indonesia dan tidak bisa mengungkapkan pemikirannya dalam bahasa Indonesia (Soeara Oemoem, 13 Juli 1938).

Oohya! Baca juga ya:

Mengapa Kongres Bahasa Indonesia (KBI) I Tahun 1938 Diadakan di Solo?

Inilah Kronologi Munculnya Nama Bahasa Indonesia pada 1926, Tabrani Pencetusnya

2 Mei 1926, Muh Yamin Marah karena Tabrani Menolak Usulan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Persatuan

Priyantono Oemar