Jalan ke Baduy. Hitam dan Putih Pakaian Baduy, Apa Maknanya?
Harris Harlianto, embriolog kum aktivis, memborong beberapa potong pakaian dari Baduy Luar dan Baduy Dalam. “Ini lebih bermakna dari Uniqlo,” kata dia menyebut merek baju yang pernah juga ia borong untuk ia bagi-bagi ke anak-anak muda di Bandung.
Baju Baduy cuma ada dua warna, hitam dan putih –yang sebenarnya ini bukanlah warna. Hitam dan putih adalah ketiadaan warna: nirwarna. Bukan nirwana lho. Tentu ada makna yang dalam mengenai warna baju Baduy ini.
Suatu hari, penulis Belanda, T van Deel, dikunjungi seorang teman untuk minum kopi dan ingin mendengar cerita mengenai masyarakat Baduy. Si teman mengenakan blus merah anggur dan celana jins biru. Van Deel pun iseng bertanya, “Mengapa kamu memakai blus merah anggur itu?”
Teman van Deel tidak bisa menjawab pertanyaan itu. “Tidak ada keraguan bahwa dunia kita, termasuk diri kita sendiri, telah berkembang ke arah yang tidak berarti sedemikian rupa, sehingga pertanyaan sederhana tentang makna sesuatu dijawab dengan mengangkat bahu,” tulis van Deel di koran Trouw edisi 8 Agustus 1991.
Van Deel bertanya-tanya seberapa jauh kita telah mengalami kekacauan pakaian kita? “Anda membelinya di toko, tempat kita ditawari agama baru dan para dewa yang memiliki nama seperti Kookai, Lacoste, Kappa, Nike, New Man,” kata van Deel. “Dewa kita memiliki nama seperti Lacoste, Kappa, Nike, New Man,” lanjut van Deel.
Tidak ada yang salah, kata van Deel, tetapi tidak ada niat yang lebih dalam ketika kita mengalami kekacauan pakaian. “Warna, atau ketiadaan warna (karena saya belajar bahwa putih dan hitam bukanlah warna), berperan dalam permainan makna, seperti yang lainnya: bahan, metode pembuatan, tempat pembuatan,” kata van Deel.
Ketiadaan warna itu, seperti ingin menyatakan bahwa masyarakat Baduy tidak perlu menonjolkan diri. Tidak perlu memunculkan citra mereka kepada dunia, karena itu tidak penting bagi mereka. Bagi masyarakat di luar Baduy, pakaian yang kita kenakan memunculkan citra kita. “Dan kita ingin dikenal karenanya, kita memilihnya dari kemungkinan yang tak terhitung banyaknya dan kita melangkah ke dalamnya. Anda tidak lagi mendapatkan jiwa di tempat suci, melainkan membelinya di toko. Di sini kita sangat jauh berbeda dari Baduy, meski ada juga persamaannya,” kata van Deel.
Pakaian Baduy yang hitam dan putih, kata van Deel, merupakan persekutuan material dan spiritual dalam kisah konsentris dunia Baduy. Masyarakat Baduy hanya memiliki satu titik tetap, yaitu tempat suci yang tinggi di gunung. Dunia Baduy secara konsentris terbagi menjadi Baduy Dalam, Baduy Luar, dan seluruh dunia. Semuanya berputar di sekitar inti yang kokoh dan tidak tersentuh. Pusat keagamaan itu menciptakan masyarakat yang terus-menerus membuat hubungan antara roh dan materi.
Masyarakat Baduy Dalam mengenakan pakaian putih karena tinggal pasling dekat dengan tempat suci. Masyarakat Baduy Luar mengenakan pakaian hitam atau biru tua, karena mereka relatif dekat dengan dunia.
Ketika kita berkunjung ke Baduy, maka yang pertama kita jumpai adalah masyarakat Baduy Luar yang berpakaian hitam atau biru tua, masuk ke dalam berjumpa dengan masyarakat Baduy Dalam yang berpakaian putih.
Priyantono Oemar