Hari Buku Nasional. Buku, Bahasa, dan Kohesi Sosial
![Hari ini, 17 Mei 2023 merupakan Hari Buku Nasional. Menurut survei pada 2019, masih ada 31 persen pembaca yang mengandalkan perpustakaan sebagai sumber buku. Buku dan bahasa diharapkan bisa meningkatkan kohesi sosial.](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/news/rvx5ymzqe8.jpg)
Ketika nasionalisme Indonesia tumbuh, Volkslectuur baru mulai melakukan gerakan literasi. Buku-buku berbahasa asing diterjemahkan untuk bisa dinikmati orang Indonesia. Ada tiga bahasa yang dilayani Volkslectuur, yaitu Melayu, Jawa, dan Sunda.
Oohya! Baca juga ya: Hari Buku Nasional, Emosionalitas Pendukung Capres di Amerika Muncul karena Malas Membaca
Ada lebih 1.250 jenis buku yang diterbitkan selama keberadaannya (Soerabaijasch Handelsblad, 3-2-1937), dengan penjualan sekitar 2.500 buku per bulan. Pada 1920 ada 760 perpustakaan untuk buku berbahasa Jawa, 239 perpustakaan untuk buku berbahasa Sunda, dan 543 untuk bahasa Melayu.
Pada 1930, jumlah perpustakaannya membengkak menjadi 1.248 (Jawa), 443 (Sunda), 723 (Melayu). Ada sedikit untuk bahasa Madura: 76 perpustakaan pada 1920 dan 114 pada 1930. Di tahun 1930, diperkirakan ada lima juta buku dari 1.000 judul yang diterbitkan.
(Pada 2019, menurut data Perpusnas, kita memiliki 164.610 perpustakaan, nomor dua di dunia setelah India yang memiliki 323.605 perpustakaan. Menurut survei Picodi, Maret 2019, ada 31 persen pembaca yang mengandalkan perpustakaan sebagai sumber buku, di bawah toko buku yang mencapai 47 persen sebagai sumber buku).
Penerbitan buku oleh Volkslectuur di masa itu ikut memperkaya pengembangan Bahasa Indonesia secara tidak langsung, dalam semangat persatuan Indonesia. Tak hanya buku-buku sastra yang diterbitkan/diterjemahkan, tetapi juga buku-buku medis, pertanian, ekonomi, dan sebagainya.
Hal itu membuka peluang terserapnya berbagai istilah teknis di berbagai bidang itu sebagai pemerkaya bahasa Indonesia. Volkslectuur juga mendorong munculnya penulis-penulis berkualitas di tiga bahasa yang dilayaninya lewat sayembara penulisan novel.
Maka, Badan Bahasa bisa meniru langkah itu. Dari 34 peserta program residensi Komite Buku Nasional, hanya 15 yang dikirim ke daerah di Indonesia. Di tahun sebelumnya, dari 28 peserta residensi, hanya 11 yang dikirim ke daerah di Indonesia.
Meningkatkan Kohesi Sosial
Memperbanyak pengiriman penulis ke daerah dapat menggali kekayaan bahasa daerah beserta dialek dan ragam bahasa Indonesia agar bisa mengemuka ke tingkat nasional, lewat buku yang mereka tulis. Di tahun 1980-an, program penelitian bahasa daerah yang diadakan Departemen P dan K telah menghasilkan banyak buku.
Program residensi diharapkan bisa menghasilkan buku-buku cerita yang bisa memperdalam pemahaman plurilingual bagi pengguna bahasa Indonesia. Seperti kita ketahui, plurilingual terkait dengan perbendaharaan bahasa, mencakup dialek dan ragam bahasa. Penyebutan Bahasa Melayu Nusantara yang dibawa dari Malaysia untuk dikampanyekan sebagai pengganti Bahasa Indonesia, saya duga berangkat dari kenyataan banyaknya dialek dan ragam yang disebut dialek dan ragam Melayu lokal di berbagai daerah di Indonesia.
Bisa saja Badan Bahasa menjadikan plurilingual sebagai program strategis untuk menciptakan kesetaraan peluang dalam pengembangan pribadi, pendidikan, dan budaya. Ini juga memberikan peluang pembelajaran bahasa yang terus-menerus untuk memberi perlindungan pada keberagaman budaya.
Dengan demikian, Badan Bahasa sekaligus juga memberi perhatian besar pada hak bahasa untuk dapat menumbuhkan saling pengertian. Dengan demikian, bahasa Indonesia tak sekadar alat komunikasi antaranak bangsa, melainkan juga menjadi peningkat kohesi sosial.
Pengalaman Republika mengadakan sayembara novel menunjukkan ada banyak minat dari daerah membawa kearifan lokal daerah ke dalam cerita. Di sana ada banyak contoh istilah-istilah lokal yang suatu saat mungkin bisa menjadi bagian dari Bahasa Indonesia. Termasuk di dalamnya ada dialek dan ragam bahasa. Dalam hal ini, pengalaman Badan Bahasa melibatkan Balai/Kantor Bahasa di berbagai daerah untuk menyetorkan istilah-istilah lokal sehingga memperkaya kamus edisi kelima, merupakan langkah yang bagus yang perlu diteruskan.
Mendikbudristek Nadiem Makarim menugaskan Badan Bahasa untuk menerjemahkan 5.000 judul buku hingga 2024. Buku asli yang diterjemahkan adalah buku berbahasa asing dan berbahasa daerah. Pada 2021 ada 1,375 judul buku cerita anak yang diterjemahkan dari bahasa asing dan ada 343 judul buku dongeng Nusantara yang diterjemahkan dari bahasa daerah. Selain diedarkan dalam bentuk buku cetak, buku-buku terjemahan dalam bentuk digital itu juga bisa didapatkan dengan cara mengunduhnya secara gratis di storyweaver.org.in dan www.letsreadasia.org. Akses ini memungkinkan bahasa Indonesia semakin mendunia.
Jika selama ini Badan Bahasa baru melihat bahasa di surat kabar, ada baiknya juga melihat bahasa di buku. Perlu pemberian penghargaan kepada buku-buku terlaris yang memperkaya pengembangan bahasa Indonesia. (Saya tidak tahu apakah pemilihan buku sastra oleh Badan Bahasa selama ini sudah dilakukan dengan melihat kekayaan bahasa di dalam buku-buku itu).
Mengembangkan Bahasa Indonesia
Survei WAN IFRA 2019, orang Indonesia ternyata masih memercayai televisi (60 persen), koran (59 persen), dan majalah (57 persen). Yang memercayai informasi lewat mesin pencari di internet mencapai 40 persen, masih di bawah radio (55 persen) dan film (50 persen). Seperti halnya yang terjadi di Asia, yang mempercayai koran (34 persen), televisi (30 persen), dan majalah (29 persen). Penelitian memang terfokus ada tingkat kepercayaan iklan di media.
Ini masih menjadi kekuatan bagi pemberian kepercayaan kepada tiga jenis media itu untuk pengembangan Bahasa Indonesia. Kendati begitu, ada sedikit anomali di Indonesia dengan adanya 30 persen yang memercayai media sosial. Angka di Asia, yang percaya media sosial hanya 11 persen. Bahkan di tingkat dunia, yang percaya media sosial -3,5 persen.
Di Indonesia, data Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia April 2019 menunjukkan pengguna internet mencapai 171 juta. Mayoritas untuk mengakses media sosial. Dari jumlah itu, ada 145 juta di antaranya merupakan pengguna Twitter, 120 juta pengguna Facebook, dan 56 juta pengguna Instagram.
Pengguna terbesar masih ada di Jawa (55 persen), kemudian Sumatra (21 persen). Pengguna usia 15-19 mencapai 91 persen (155,6 juta orang). Artinya perlu perlakukan berbeda dalam hal pemanfaataan media untuk pengembangan bahasa di Jawa dengan di luar Jawa.
Menurut survei Nielsen pada Maret 2019, orang Indonesia masih betah di menonton televisi selama lima jam, dan berselancar internet selama tiga jam. Untuk kebiasaan membaca koran, orang Indonesia hanya betah selama 31 menit, dan 24 menit untuk membaca majalah.
Ini berarti, di tingkat Asia, pengembangan bahasa Indonesia masih bisa mengandalkan media massa. Sedangkan di Indonesia, selain mengandalkan media massa, bisa pula memanfaatkan media sosial. Menjadi pekerjaan berat bagi Badan Bahasa jika penggunakaan bahasa Indonesia di televisi dan internet masih belepotan.
Ada 63,5 juta orang yang masuk kategori generasi Y (milenial, lahir 1980-1994), sekitar 24 persen dari total penduduk. Generasi anak orla (baby boomer, lahir 1944-1964) masih ada 13 persen, dan generasi X (lahir 1965-1979) masih ada 20 persen. Selebihnya, 23 persen, adalah generasi Z (lahir 1995-2015).
Bagaimana Badan Bahasa melihat data ini untuk pengembangan dan perlindungan bahasa? Saat ini Badan Bahasa tengah menghadapi tantangan pelemahan Bahasa Indonesia. Beruntung, upaya mengganti bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu Nusantara untuk dimajukan sebagai bahasa internasional karena kepentingan serumpun, bisa digagalkan, bermula dari pertemuan di Medan.
Namun, upaya-upaya pemelahan masih ada dan akan terus ada terkait dengan perubahan zaman. Cuitan di Twitter di lima kota di Indonesia, konon 78 persennya melibatkan bahasa Inggris.
Generasi Z banyak yang masih kanak-kanak, meskipun mereka terus tumbuh, tetapi tetap remaja dalam beberapa tahun ke depan. Mereka tertarik pada pengetahuan umum dan sensitif pada hal-hal tertentu, sesuai dengan perkembangan usia mereka.
Inilah masa-masa bagi mereka untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia, meningkatkan pemahaman bahasa, meningkatkan kosa kata, dan sebagainya. Bagaimana Badan Bahasa melibatkan orang dewasa dari generasi X dan generasi milenial untuk menularkan pengetahuan bahasa kepada generasi Z dengan memanfaatkan media massa dan media sosial?
Data tahun 2018, menurut data Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), ada 68.290 ISBN dengan jumlah buku yang terjual di Gramedia sebanyak 44.589 judul. Jumlah buku yang terjual di Gramedia ada 34,7 juta buku. Menurut survei Picodi, 73 persen penjualan buku di Indonesia masih lewat toko buku. Untuk koran, jumlah oplah pada 2015 cuma 8,79 juta eksemplar.
Selamat merayakan Hari Buku Nasional.
Priyantono Oemar
Tulisan ini pernah disampaikan di acara Diskusi Kelompok Terpumpun “Penguatan Kelembagaan dalam Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Perbukuan” di Badan Bahasa pada Jumat, 8 November 2019. Ada perubahan judul dan penambahan isi.
![Image](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/profile/thumbs/2dcba3833a408c306a7f37165f038a2a.jpeg)