Sekapur Sirih

Hari Buku Nasional, Emosionalitas Pendukung Capres di Amerika Muncul karena Malas Membaca

Emosionalitas pendukung calon presiden (capres), ternyata muncul akibat malas membaca. Orang Amerika pun banyak yang tidak membaca buku, sehingga mereka juga banyak yang menjadi pendukung emosional capres.
Emosionalitas pendukung calon presiden (capres), ternyata muncul akibat malas membaca. Orang Amerika pun banyak yang tidak membaca buku, sehingga mereka juga banyak yang menjadi pendukung emosional capres.

Capitol Hill 4, Maret 1841. William Henry Harrison menyampaikan pidato pelantikannya sebagai presiden AS ke-9. Sebelum tiba di Capitol Hill, Harrison dari Partai Whig ini harus menempuh perjalanan berkuda 2,5 mil (sekitar empat kilometer). ''Suhu waktu itu dingin, beliau tak mengenakan overcoat,'' kata Richard Cooper, staf Ronald Reagan Library, saat kami berada di Galeri Tanda Tangan Presiden, Ronald Reagan Library, Los Angeles, pada Februari 2005.

Dalam sejarah pelantikan presiden AS, Harrisonlah yang menyampaikan pidato paling panjang. Ia mengucapkan 8.445 kata. ''Ia berpidato, berdiri selama 1 jam 45 menit,'' tambah Cooper.

Akibat tidak memakai jaket panjang (overcoat) di musim dingin itu, Harrison terserang flu. Dan ia mengakhiri masa jabatan presidennya 30 hari kemudian, waktu tercepat dalam sejarah kepresidenan AS. ''Pada 4 April 1841, beliau meninggal di kantor, akibat flu itu,'' jelas Cooper.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Capitol Hill, 4 Maret 1933. Giliran Franklin Delano Rosevelt menyampaikan pidato pelantikan presiden. Ia kenakan jaket panjang. Dan setiap tampil di depan publik selama menjabat presiden, ia selalu mengenakan jaket panjangnya. Rosevelt menjadi presiden terlama sepanjang sejarah AS; empat kali menyampaikan pidato pelantikan. Tapi pada jabatannya yang keempat, ia hanya memerintah 81 hari sejak pelantikannya pada 20 Januari 1945. Ia meninggal pada 12 April 1945.

Dengan jaket panjang, Rosevelt dari Partai Denokrat ini merasa nyaman. Ia bisa menutupi cacat fisiknya, akibat serangan polio di kakinya. Dan ia membawa AS ke era baru, ketika AS memasuki masa krisis ekonomi. Ia membangun optimisme di tengah jutaan orang yang kehilangan pekerjaan dan kesulitan makan, dan kemudian harus menghadapi Perang Dunia (PD) II. Tetapi untuk bisa memulai kerja, Roosevelt harus menunggu masa transisi selama empat bulan sejak terpilih.

Berdasarkan pengalaman ini, pada 23 Januari 1933, Kongres menyetujui amandemen UUD, memperpendek masa transisi menjadi 72-78 hari, sehingga pelantikan dimajukan pada 20 Januari dari 4 Maret yang sudah dilakukan sejak pelantikan presiden pertama George Washington. Maka, di masa kepemimpinan kedua, Roosevelt dilantik pada 20 Januari 1937. Kepemimpinan ketiga dilantik pada 20 Januari 1941, dan kepemimpinan keempat dilantik pada 20 Januari 1945. Serangan strok membuatnya meninggal pada 12 April 1945. Dialah presiden dengan empat masa jabatan bertutut-turut.

Berpikiran Rasional karena Membaca

Donald Trump ingin bisa dilantik lagi 20 Januari 2021, setelah periode pertamanya mendapat kecaman banyak pihak. Bahkan politisi Partai Republik sendiri, partai tempat Trump bernaung, menyebutnya “sangat tercela”. Tetapi, oleh pendukung fanatiknya, Trump dianggap sebagai tokoh yang melestarikan kebebasan di Amerika Serikat di abad ke-21, seperti halnya yang dilakukan Abraham Lincoln (Partai Republik) di abad ke-19, dan Ronald Reagan (Partai Republik) di abad ke-20.

Ketika kata-kata Trump mampu menggerakkan pendukung fanatiknya nggrudug Capitol Hiil, anggapan saya saat itu bahwa pendukung Republik sebagai orang-orang emosional, semakin menguat. Anggapan itu muncul ketika saya pada 2005 masuk ke kandang Republik di kota kecil sekitar 80 km dari Los Angeles. Dari pertemuan dengan belasan warga kota kabupaten di pinggir Sungai Santa Ana itu, saya mendapatkan anggapan itu, berbeda dengan pemilih Demokrat yang cenderung rasional.

Saat saya menyampaikan perasaan masygul saya: Kenapa mereka masih memilih Bush yang telah membuat negara lain luluh lantak karena balas dendam peristiwa WTC, mereka sangat emosional menanggapinya --setelah menyatakan Bush adalah “bapak” yang baik, yang melindungi “keluarga”-nya dari terorisme, jadi layak menjadi dipilih lagi sebagai “bapak”.

Kemudian mereka bercerita dengan sangat emosional tentang keterlibatan mereka dalam pertukaran budaya, salah satunya membangun perdamaian. Mereka sebut banyak anak Indonesia yang tinggal di rumah-rumah mereka untuk studi di kota mereka. Itu sudah mereka lakukan sejak 1970-an sembari menyebut nama dokter kondang di Jakarta yang pernah tinggal di rumah mereka. Saat itu ada pula beberapa anak Indonesia yang tinggal di kota itu sejak masuk SMP, meninggalkan Indonesia ketika lulus SD.

Aksi Bush di luar negeri saat itu juga menjadi pertanyaan anak-anak sekolah, karena apa yang dilakukan Bush bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yangmereka pelajari di sekolah. Saat itu, guru kelas lima Lang Ranch Elementary School Kevin Linch mengaku sering mendapat pertanyaan dari murid kelas limanya. ''Mereka tanya apakah Presiden Bush berhak melakukan hal itu di Irak?'' kata Linch.

Menjawab pertanyaan kritis dari para siswa seperti itu, menurut kepala sekolah Ranch Elementary School saat itu Brad Baker, perlu menjelaskan pentingnya menghormati otoritas. Karena, ketika rakyat telah memilih presiden, maka sekaligus memberi mandat dan wewenang kepadanya. Jika tak setuju dengan tindakannya, sebagai tindakan checks and balances, rakyat tak perlu memilih lagi di pemilu berikutnya. ''Tapi di usia mereka ini, kami tak memberikan solusi. Orang tua juga perlu menjelaskan tentang hal ini,'' ujar Baker.

Yang terjadi pada Trump berbeda dengan yang dialami Bush. Bush masih bisa tinggal di Gedung Putih empat tahun lagi, tapi Trump harus hengkang dari gedung putih. Bush masih dipilih oleh orang-orang independen, sedangkan Trump tidak.

Pew Research mentatat, dalam 25 tahun terakhir komposisi pemilih partai di Amerika Serikat hampir tak berubah banyak. Survei Pew Research 2018/2019 menyebutkan pemilih Demokrat tercatat 33 persen, Republik 29 persen, dan independen 34 persen. Dari pemilih independen, 49 persen condong ke Demokrat, dan 44 persen condong ke Republik. Survei 1994 menyebut pemilih Demokrat 33 persen, pemilh Republik 33 persen, dan pemilih independen 30 persen. Dari pemilih independen pada 1994, 46 condong ke Republik dan 44 condong ke Demokrat.

Akibat Malas Membaca

Pandangan beberapa akademisi dari beberapa kampus di Amerika cocok dengan pandangan saya: Emosionalitas pendukung Republik muncul karena mereka tak peduli dunia luar dan malas membaca. Pernyataan mereka tetap terkonfirmasi hingga kini meski survei Pew Research tak memilah berdasarkan partai. Ada 27 persen orang dewasa Amerika Serikat yang tidak membaca buku. Ada 73 persen yang membaca buku, tetapi itu pun hanya satu buku dalam setahun pada 2018.

Jika dipilah lagi berdasarkan pendapatan, orang dewasa yag berpendapatan 30 ribu dolar ke bawah ada 36 persen yang tak membaca buku. Ada 26 pesen yang tak membaca buku dari kalangan berpenghasilan lebih dari 30 ribu dolar hingga 74 ribu dolar.

Mereka yang tinggal di desa, ada 33 persen yang tak baca buku, di kota ada 24 persen yang tak baca buku, dan di pinggiran kota ada 24 persen juga yang tak baca buku. Jika dilihat dari pendidikan, yang berpendidikan paling tinggi sekolah menengah ada 44 persen yang tidak membaca buku. Yang berpendidikan sarjana/diploma ada 22 persen yang tak membaca buku.

Tidak membaca buku, disebut beberapa akademisi yang bertemu saat itu, yang membuat warga Amerika lebih banyak berorientasi ke urusan dalam negeri secara irasional. Akibatnya, ketika ada presiden merugikan negara lain tetapi menguntungkan di dalam negeri, akan dianggap sebagai pahlawan. ”Mereka hanya membaca yang ada di koran hari ini,” ujar Marc Stern, yang saat itu menjadi penasihat Kongres.

Selamat Hari Buku Nasional, 17 Mei 2023.

Priyantono Oemar