Lincak

Lebaran Bersama Meriam Keramat Si Jagur

Meriam Si Jagur dengan simbol
Meriam Si Jagur dengan simbol "mano in fica" sering dikunjungi saat Lebaran.

Suatu hari pada 1953, petir menyambar-nyambar Jakarta. Saat itu Si Jagur sedang diangkat untuk dipindahkan ke Museum Nasional. Si Jagur dipindahkan dari lokasi semula, yang sudah tiga abad di alam terbuka, di Pasar Ikan (Kota Intan).

Maka, berakhirlah pemberian sesajen oleh orang-orang yang menginginkan anak. Ia tidak dianggap sebagai meriam keramat lagi. Tak ada lagi tradisi beramai-ramai mengunjungi Si Jagur pada hari Lebaran. Dua hari libur Lebaran inilah, menurut Algemeen Handelsblad edisi 25 November 1939, merupakan hari milik kalangan pribumi di masa penjajahan Belanda. Di Baravia, mereka memanfaatkan Lebaran untuk mengunjungi Si Jagur setelah bersilaturahim dengan keluarga/tetangga.

Rapi pengunjung Si Jagur tak hanya pribumi. Selama ditunggal para pembantu, orang-orang Belanda makan di rumah kerabat atau maksn di restoran milik orang Cina atau menginap di hotel lalu meluang waktu mengunjungi Si Jagur. Demikian juga orang-orang Cina.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Si Jagur dikenal juga dengan nama Kiai Bustomi, Kiai Satomi. Ini adalah meriam yang dibuat di St Jago de la Barra, Makau, oleh Portugis. Sejak 1557, Makau merupakan wilayah koloni Postugis. Tradisi di Makau, meriam dipersembahkan kepada orang suci. Meriam yang kemudian dirampas JP Coen di Malaka itu oleh Portugis dipersembahkan kepada St Jago. Inilah asal mula nama yang terkenal di Batavia: Si Jagur.

Lokasi Si Jagur pun penuh dengan sesajen (bunga dan dupa). Sesajen ditaruh di dekat kepalan tangan di bagian belakang Si Jagur. Kepalan itu yang dikenal sebagai simbol "mano in fica". "Mano in fica", menurut Prof GA Wilken di buku De Verspreide Geschriften van Prof Dr GA Wilken (1912), merupakan ibu jari yang menjulur di sela jari telunjuk dan jari tengah dengan tangan mengepal. Orang-orang Eropa masa lalu menggunakan simbol ini untuk melumpuhkan tatapan mata jahat. Yaitu orang-orang yang menggunakan tatapan mata untuk berbuat jahat.

"Mano in fica" biasanya dibuat dalam bentuk replika. Di awal abad ke-19, untuk melawan si mata jahat lebih praktis menggunakan kepalan tangan yang bisa langsung diacungkan kepadanya.

Selain simbol tolak bala, "mano in fica" juga merupakan simbol lingga yoni, yang oleh orang-orang Jawa dianggap memiliki tuah mengabulkan permitaan untuk mendapatkan keturunan. Maka, mereka yang mengunjungi Si Jagur memiliki keinginan mendapatkan anak dan mendapatkan nasib baik, terhindar dari marabahaya.

Oohya! Baca juga: Gara-gara Kepalan Tangan Meriam Ki Jagur, Ribuan Orang Menziarahinya

Priyantono Oemar