Pegawai Negeri Hidup Boros di Masa Hindia Belanda, Soetardjo Sarankan Serang Sekeras-kerasnya
Presiden Jokowi melayang pegawai negeri (aparat sipil negara, ASN) mengadakan buka bersama dengan alasan gaya hidup ASN sedang disorot. Jokowi pun meminta agar tidak pamer harta. Sebelumnya, berita mengenai gaya hidup keluarga pegawai memang bermunculan.
Ada remaja anak pegawai pajak yang mengendarai Rubicon dan menganiaya remaja lainnya. Lalu ada pula anak ASN Pemprov Riau yang mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke-17 di Hotel Ritz Carlton, Jakarta. Ada pula anak ASN Pemprov DKI Jakarta yang menginap di hotel dengan biaya Rp 27 juta per dua malam. Belum lagi istri-istri ASN yang pamer kemewahan di media sosial.
Bagaimana kehidupan pegawai negeri di zaman Hindia Belanda dulu? Banyak pula yang bergaya hidup mewah, kendati penghasilan kecil. Menurut Soetardjo, anggota Volksraad perwakilan dari Persatuan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB), banyak pegawai yang terjerat utang.
Penyebabnya bisa beragam. Kebiasaan saat itu, jika ada pegawai yang lebih tinggi pangkatnya bertamu, maka pegawai itu harus memberi suguhan sesuai dengan derajat pangkatnya. Mereka bertamu tak hanya sebentar, kadang ada yang menginap saat mereka melakukan kunjungan kerja.
Soetardjo mengungkapkan ungkapan populer di kalangan pegawai pribumi. “Beloem terlaloe lama ada orang di doenia Priboemi jang berpendapatan, bahwa kehormatan bisa kita dapat djoega, kalau kita mempoenjai banjak pindjaman.”
Pinjaman menjadi alat penutup kekurangan biaya hyang harus ia keluarkan dalam sebulan ketika gaji yang ia dapat tidak mencukupinya. Mereka harus menanggung pengeluaran pribadi/keluarga, dan pengeluaran untuk keperluan dinas, seperti menjamu pejabat yang bertamu ke rumahnya.
Soetardjo pernah dicaci maki karena ia tidak mengadakan pesta untuk acara khitan dua anaknya. Hanya keluarga Wiratanakusuma yang tahu ia mengkhitankan dua anaknya di CBZ (sekarang RSCM). Biayanya hanya lima gulden untuk dua anak. Tak ada pesta, sehingga ia tak menyusahkan kenalannya yang begitu banyak. Jika ia mengadakan pesta, maka ia harus mengundang banyak koleganya. Biaya per surat bisa 15 sen, biaya per telegram bisa 1,5 gulden. Lalu, kolega yang mendapat undangan juga harus menyisihkan uang untuk ongkos perjalanan dan sumbangan untuk anak yang dikhitan.
Karenanya, Soetardjo mengusulkan agar para pegawai pribumi diwajibkan memiliki buku kas untuk mencatat penghasilan dan pengeluaran, sehingga mereka bisa berhemat dan tidak terjerat pinjaman. Ia juga menyarankan agar anggota PPBB saling mengingatkan agar tidak bergaya hidup boros. “Apa sadja segala perboeatan lid PPBB jang termasoek memboros, haroeslah diserang dengan sekeras-kerasnja,” kata Soetardjo.
Priyantono Oemar