Gara-gara Kepalan Tangan Meriam Ki Jagur, Ribuan Orang Menziarahinya
Belanda merebut sebuah meriam dari Portugis di Malaka pada 1641. Meriam seberat 17 ton itu dibuat Portugis di Benteng St Jago de Barra, Makau, oleh Belanda dari Malaka dibawa ke Batavia. DI Batavia kemudian dikenal dengan nama Meriam Si Jagur.
Koran-koran Belanda pada 1930-an melaporkan, meriam itu cukup lama menjadi pusat ziarah pribumi untuk mendapatkan keturunan dan menolak kebangkrutan. Selama ziarah, mereka menaruh sesajen berupa kembang dan dupa. Ziarah pemujaan dilakukan ketika meriam itu masih ada di alam terbuka di Jakarta Utara, sebelum dipindahkan ke Museum Nasional pada 1953.
Koran De Locomotief mencatat pada Agustus 1936, ziarah untuk meminta keturunan keada Si Jagur sudah dilakukan perempuan-perempuan pribumi pada 1822. Dennys Lombard menyebut, Comte de Beauvoir penah mampir di Jawa pada 1866, dan buku pengalamannya diberi ilustrasi para wanita yang melakukan pemujaan di meriam untuk mendapatkan keturunan.
Mengapa meriam ini diharapkan bisa memberikan keturunan dan menolak bala? Pantat meriam berhias kepalan tangan yang menjepit ibu jari. Pada 1912, Prof Dr GA Wilken menulis seluk beluk meriam ini sekaligus mengenai kepalan tangan yang menjepit ibu jari itu. Di Eropa, kepalan tangan dengan jari telunjuk dan jari tengah yang menjepit ibu jari dibuatkan replikanya dari lilin. Namanya “far la fica” dijadikan jimat ketika berhadapan dengan si mata jahat.
Jika tak mempunyai “far la fica” bisa melakukan “mano in fica”: Mengepalkan tangan dengan menjulurkan ibu jari di antara telunjuk dan jari tengah, lalu mengacungkannya. Acungan itu ditujukan kepada si mata jahat, agar terhindar dari pengaruh buruk si mata jahat.
Di Pulau Jawa, “mano in fica” berkaitan dengan simbol lingga, yaitu simbol kekuatan gerenarif alam yang berpasangan dengan yoni. Maka, tak heran jika penduduk yang melakukan pemujaan di Meriam Si Jagur menaruh harapan bisa segera memiliki keturunan.
Priyantono Oemar