Lincak

Kembali ke UUD 45, tetapi Mengabaikan Piagam Jakarta. Amir Machmud Punya Jawabannya

Perintah PN Jakarta Pusat kepada KPU agar tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu, mengingatkan pada kasus tertundanya pemilu di Orde Lama. Konstituante baru terbentuk 1955 untuk kembali membahas UUD seperti yang diamanatkan pada pembahasan UUD 18 Agustus 1945. Tapi Konstituante kemudian dibubarkan, dan Presiden Sukarno menyatakan kembali ke UUD 45 dan Piagam Jakarta sebagai suatu rangkaian kesatuan dengan UUD 45 itu. (foto ilustrasi gedung kpu/republika).
Perintah PN Jakarta Pusat kepada KPU agar tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu, mengingatkan pada kasus tertundanya pemilu di Orde Lama. Konstituante baru terbentuk 1955 untuk kembali membahas UUD seperti yang diamanatkan pada pembahasan UUD 18 Agustus 1945. Tapi Konstituante kemudian dibubarkan, dan Presiden Sukarno menyatakan kembali ke UUD 45 dan Piagam Jakarta sebagai suatu rangkaian kesatuan dengan UUD 45 itu. (foto ilustrasi gedung kpu/republika).

Dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Sukarno menyatakan, “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.” Meski begitu, pelaksanaan kembali ke UUD 45 di kemudian hari tidak menempatkan Piagam Jakarta sebagai suatu rangkaian kesatuan dengan UUD 45.

Apa sebab? Dalam bahasa Menteri Dalam negeri Amir Machmud di buku H Amir Machmud Prajurit Pejuang, “Gagalnya Konstituante melaksanakan tugasnya adalah karena sebagian anggota Konstituante mau mendirikan negara baru dengan dasar dan falsafah yang lain karena mereka tidak mau menerima Pancasila.”

Pemilu 1995 yang melahirkan anggota Konstituante, menurut Amir Machmud, arahnya tidak jelas. “Maka tidaklah mengherankan apabila Konstituante tidak berhasil melaksanakan tugasnya, karena wakil-wakil rakyat yang didominasi oleh partai-partai politik yang mempunyai ideology yang saling betentangan dan akhirnya Konstituante itu terpaksa dibubarkan,” kata Amir Machmud.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Seharusnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan membahas kembali UUD, sudah dibentuk enam bulan sejak Proklamasi Kemerdekaan. Namun situasi politik setelah kemerdekaan tak memungkinkan melaksanakan pembentukan Majelis tersebut. Majelis yang kemudian bernama Konstituante baru dibentuk pada 1955 melalui Pemilu 1955.

Oohya! Baca juga:

Menunda Pemilu, Pemilu 1955 sebagai Pemilu yang Tertunda

Bung Karno Kembali ke UUD 45, Idenya Sudah Muncul Pada 1958 dari AH Nasution

Di sidang Konstituante inilah, Kasman Singodimedjo mengingatkan kembali kesepakatan terkait penghapusan tujuh kata di Pembukaan UUD, yaitu “dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja”. Ketua Muhammadiyah Ki Bagus Kusumo yang semula menolak penghapusan ini, akhirnya menyetujuinya setelah ditenangkan dengan janji di UUD bahwa UUD akan dibahas lagi setelah terbentuk Majelis Permusyaratan Rakyat enam bulan kemudian.

Kasman Singodimedjo, kemudian juga menjawab pandangan PKI mengenai Pancasila. Pada 2 Desember 1957, Kasman Singodimedjo di buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun menyampaikan pemandangan umum di Konstituante mengenai dasar negara menjawab pandangan PKI pada sidang 28 November 1957 yang menyatakan “Pancasila itu bersegi banyak dan berpihak ke mana-mana”. Pandangan PKI itu bisa dirtikan bahwa Pancasila berpihak juga kepada komunisme. Padahal, kata Kasman Singodimedjo, komunisme yang tidak mengakui Tuhan itu keberadaannya di Indonesia bertentangan dengan Pancasila.

Priyantono Oemar