Bung Karno Kembali ke UUD 45, Idenya Sudah Muncul Pada 1958 dari AH Nasution

Perjalanan keberbangsaan dan kenegaraan Indonesia setelah dekrit tidak menunjukkan adanya pengakuan terhadap Piagam Jakarta sebagai bagian tak terpisahkan dari UUD 1945. Akibatnya, pelaksanaan syariat Islam oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam cukup lama mengalami hambatan. Bahkan hingga kini, masih saja ribut-ribut soal sertifikasi halal. Belum untuk hal lainnya. Jadi, kembali ke UUD 1945 belum dijalankan seutuhnya, karena Piagam Jakarta selalu ditanggalkan dari rangkaian kesatuan UUD 1945. Konsekuensi dari keputusan bukan dari hasil musyawarah?
Oohya! Baca juga: Menunda Pemilu, Pemilu 1955 sebagai Pemilu yang Tertunda.
Ide kembali ke UUD 1945 muncul sejak 1958 dari Menteri Keamanan Nasional/KSAD Jenderal TNI AH Nasution. Usulan itu muncul karena upaya menyusun UUD yang baru selalu mentok. UUD baru ini perlu disusun, menurut MC Ricklefs di buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, “untuk menyelesaikan peralihan ke demokrasi terpimpin”. Istilah “demokrasi terpimpin” dilontarkan Sukarno pada Februari 1957. Demokrasi terpimpin inilah yang dianggap cocok dengan kepribadian nasional untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut. Tapi pembahasan menemui jalan buntu ketika membahas dasar falsafah untuk undang-undang dasar baru.
Gangguan keamanan negara memang terus bermunculan. Muncul pembangkangan di tentara dan PRRI/Permesta. Konflik kalangan Islam dan sekuler pun mengeras terkait dengan dasar negara. Persoalan Aceh juga berlarut-larut. Pernyataan gencatan senjata di Aceh tak terlaksana dengan baik. Persatuan Indonesia masih harus terus-terusan mengalami ujian.
Pada 2 Desember 1957, Kasman Singodimedjo di buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun menyampaikan pemandangan umum di Konstituante mengenai dasar negara menjawab pandangan PKI pada sidang 28 November 1957 yang menyatakan “Pancasila itu bersegi banyak dan berpihak ke mana-mana”, yang artinya berpihak juga kepada komunisme, sementara komunisme yang tidak mengakui Tuhan itu keberadaannya di Indonesia bertentangan dengan Pancasila.
Pada 1959, dalam catatan Ricklefs, pamerintah memberikan status daerah istimewa kepada Aceh. Tujuannya untuk menghentikan pertempuran di Aceh. Status ini memberikan hak istimewa kepada masyarakat Aceh “dalam masalah-masalah keagamana, hukum adat, dan pendidikan”, yang menurut Ricklefs, statusnya sebagai “negara Islam dalam negara”. Sementara dalam perdebatan di Konstituante, banyak yang tak menyetujui Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam UUD 45.
Cerita Opsir Jepang
Kembali ke cerita opsir Jepang, benarkah apa yang dia laporkan ke Hatta? Sebab, tokoh-tokoh Indonesia Timur yang tidak mau bergabung dengan Republik alasannya bukan soal tujuh kata itu, seperti yang telah dibahas di atas.
Selain munculnya organisasi PTB yang tidak ingin Indonesia Timur bergabung dengan Republik Indonesia, ada pula kelompok lain yang menginginkan Indonesia Timur sebagai negara federal, juga terpisah dari Republik Indonesia. Kelompok ini juga berbeda tujuan dengan PTB.
Mari mundur ke masa sebelum proklamasi kemerdekaan. Saat mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, di sidang BPUPKI terbahas batas wilayah Indonesia yang akan dimerdekakan. Ada yang usul wilayah Indonesia adalah wilayah Hindia Belanda. Tapi ada juga yang usul wilayah Indonesia adalah wilayah Majapahit, sehingga Malaya dan Kalimantan Utara masuk di dalamnya. Terlebih ada utusan dari Malaya yang datang di Jakarta menyatakan keinginannya agar wilayah mereka dimasukkan ke Indonesia jika Indonesia memerdekakan diri.
Tapi saat UUD 1945 dibahas di sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, usulan pencantuman batas wilayah negara di dalam UUD tidak disetujui. Sehingga bisa dikatakan, saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, belum jelas batas-batas wilayahnya. Tapi saat pembahasan wilayah administratif, wilayah-wilayah Hindia-Belandalah yang dibentuk administrasi pemerintahannya.
Pada sidang PPKI 19 Agustus 1945, ketika membahas calon-calon gubernur, sekaligus terbahas wilayah-wilayahnya, tersebutlah wilayah Republik Indonesia: Sumatra, Kalimantan, Sulawesi,, Maluku, dan Sunda Kecil (Bali-Nusa Tenggara) masing-masing merupakan satu provinsi. Jawa dibagi tiga provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Teuku Moh Hasan diusulkan sebagai gubernur Sumatra, Pangeran M Noer diusulkan menjadi gubernur Kalimantan, GSSJ Ratulangi dicalonkan menjadi gubenur Sulawesi, J Latuharhary dicalonkan menjadi gubernur Maluku, dan I Ketut Pudja calon gubernur Sunda Kecil.
Penunjukan Ratulangi sebagai gubernur Sulawesi dipertanyakan di Sulawesi Selatan. Untungnya, menurut dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar, Najamuddin, dalam “Persaingan Elit Bangsawan dengan Kelompok Terdidik pada Masa Revolusi di Sulawesi Selatan” yang dimuat di jurnal pendidikan dan sejarah, Istoria, volume 10 No 2 Maret 2015, Raja Bone Mappanyukki kemudian mendukung Ratulangi dan bisa mempengaruhi raja-raja lainnya, yang sebenarnya menginginkan negara sendiri.
Pilihan bentuk negara
Muh Yamin di sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945 pernah menyinggung soal negara kerajaan yang masih ada. Yamin --seperti yang tertulis di Himpunan Risalah Sidang-sidang halaman tujuh-- menyebut ada 300 kerajaan di wilayah Indonesia yang akan dimerdekakan. Hampir semuanya bercorak negara-pusaka, bukan negara-kebangsaan, dan satu-dua sebagai negara-kekuasaan. Tak ada negara kebangsaan. Maka yang dicita-citakan adalah menciptakan negara kebangsaan ketiga. Bangsa Indonesia pernah mempunyai negara kebangsaan pertama (Sriwijaya), dan negara kebangsaan kedua (Majapahit).
Yamin mengatakan:
Rakyat Indonesia sekarang tak dapat diikat dengan dasar dan bentuk tata negara dahulu, karena perubahan dan aspirasi kita sekarang jauh berlainan daripada zaman yang dahulu itu (Himpunan Risalah Sidang-sidang, halaman 6).
Sidang BPUPKI pada 10 Juli 1945 lantas melakukan pemungutan suara untuk menentukan bentuk negara yang akan dijalankan. Dari 64 orang, yang memilih bentuk republik ada 55, yang memilih bentuk kerajaan ada enam. Dua anggoa lagi memilih lain-lain, dan satu anggota memilih blangko (Himpunan Risalah Sidang-sidang, halaman 119). Abdul Kaffar menyatakan, bentuk republik sesuai dengan keinginan masyarakat Madura (Himpunan Risalah Sidang-sidang, halaman 129), namun Wongsonegoro mengingatkan agar tidak mendahului suara rakyat. Karenanya, ia menyarankan agar terlebih dulu dimintakan pendapat rakyat (Himpunan Risalah Sidang-sidang, halaman 97).
Priyantono Oemar
