Sekapur Sirih

Autobiografi Harmoko, Dilema Pencabutan SIUPP

Harmoko bersama Ronggo Astungkoro, peraih Thamrin Award 2017.
Harmoko bersama Ronggo Astungkoro, peraih Thamrin Award 2017.

Keluarga Harmoko meluncurkan buku autobografi setebal 640 halaman pada Sabtu (25/2/2023). Berjudul Bersama Rakyat ke Gerbang Reformasi, selain bicara masa kecil Harmoko, buku ini juga bercerita tentang sikap Harmoko mengenai pembatalan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), tentang tentara yang menjadi pemimpin redaksi, soal sikap Harmoko mengenai pembatalan SIUPP, soal kalimat menurut petunjuk bapak presiden, soal laporan asal bapak senang (ABS), dan sebagainya, hingga cerita-cerita masa reformasi 1998.

Ada pula cerita mengenai pelesetan Harmoko menjadi Hari-hari Omong Kosong. Oohya! Mengenai hal itu, baca ini ya: Peluncuran Autobiografi Harmoko, Hari-hari Omong Kosong.

Mantan Menteri Penerangan yang terkenal dengan kalimat “menurut petunjuk bapak presiden” itu meninggal pada 4 Juli 2021. Buku autobiografinya hanya dicetak terbatas, tidak diperjualbelikan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Mengenai kebebasan pers, saat menjadi ketua PWI, Harmoko berpikiran pemerintah jangan asal cabut surat izin terbit (SIT pers). Perlu prosedur berjenjang, mulai dari peringatan, karena masyarakat pers memiliki trauma terhadap pencabutan SIT yang tiba-tiba, seperti yang pernah terjadi pasca-Malari 1974.

Harmoko selau ketua PWI mendatangi Pangkopkamtib Jenderal Soemitro. Menjawab Harmoko, Jenderal Soemitro cuma berkata, “Ya, kami akan perhatikan.” (halaman 130). PWI pun kemudian mengadakan seminar kebebasan pers. Harmoko berbicara mengenai interaksi pers dan pemerintah.

“Saya katakan, pemerintah tidak pada tempatnya mengambil tindakan sewenang-wenang dalam menghadapi pemberitaan pers. Masyarakat juga tidak proportional mengambil tindakan sendir, tanpa melalui prosedur hokum. Sementara dari sisi pers sendiri, ketaatan dan kepatuhan pada kode etik adalah bagian dari keharusan profesional,” kata Harmoko mengenai hal yang ia bicarakan di seminar kebebasan pers yang diadakan PWI bekerja sama dengan majalah Tempo itu di buku autobiografinya halaman 130.

Oohya! Baca juga tulisan terkait ini ya: Jurnalistik Ronggeng Parada Harahap, Racun Perjuangan Kemerdekaan.

Tapi, saat menjadi menteri penerangan, Harmoko mencabut SIUPP majalah Tempo pada 1994. Tak ada pembicaraan proses hukum soal pembredelan ini. Tempo dibredel bersama Editor dan Detik pada 21 Juni 1994. Tetapi sebelum langkah pencabutan SIUPP dilakukan, terlebih dulu dilakukan pembahasan di Dewan Pers lalu di Rakor Polkam, sesuai amanah Permenpen No 01/Permenpen/1984 sebagai peraturan pelaksana dari UU Pokok Pers No 21/1982. Hasil Rakor Polkam disampaikan Harmoko dan Menko Polkam kepada Presiden Soeharto. “Kalau sudah melanggar ketentuan, ya ditutup,” perintah Presiden Soeharto seperti diceritakan Harmoko di halaman 211.

Tempo, kata Harmoko di halaman 211, dicabut SIUPP-nya terkait dengan pemberitaan pembelian kapal perang eks-Jerman Timur. Editor dicabut SIUPP-nya karena manajemennya tidak memenuhi azas legalitas. Sedangkan Detik dicabut SIUPP-nya karena SIUPP-nya untuk berita kriminalitas, tetapi dibelokkan untuk berita politik.

Kasus Detik, disamakan oleh Harmoko dengan kasus pencabutan SIUPP Prioritas pada 1987, yaitu misi penerbitan. Dalam SIUPP, Priositas diterbitkan untuk berita ekonomi, tetapi pada kenyataannya, kata Harmoko di halaman 211, “Pemberitaannya belakangan melebar ke mana-mana.”

Kasus pencabutan SIUPP pertama saat Harmoko menjadi menteri penerangan menimpa Sinar Harapan. Harmoko menyebut pencabutan SIUPP Sinar Harapan pada 1985 tanpa menjelaskan berita yang membuat SIUPP dicabut. Tetapi, pencabutan sebenarnya terjadi pada 9 Oktober 1986, karena berita-berita mengenai devaluasi, setelah Presiden Soeharto menyampaikan pidato kenegaraan 16 Agustus 1986. Harmoko dilantik sebegai menteri penerangan pada 1983.

“Saya ingat betul, sebelum pencabutan SIUPP harian sore Sinar Harapan, saya sudah mencoba berdiskusi dengan teman-teman pengelola Sinar Harapan. Saya ajak mereka berbicara, bahkan minta tolong agar jangan sampai item-item pemberitaan mereka yang beberapa waltu sebelumnya sudah disorot berkembang menjadi sesuatu yang menyulitkan. Kalau cover both side atau berimbang saja, menurut saya tidak masalah,” kata Harmoko di autobiografinya di halaman 208-209.

Sore hari, pukul 17.00 WIB, Harmoko dipanggil Presiden Soeharto di Cendana. Di sana sudah ada Mensesneg Sudharmono dan Pangab jenderal Benny Moerdani. Di atas meja Soeharto sudah ada Sinar Harapan. (Sore itu, 8 Oktober 1986, Sinar Harapan memuat berita “Pemerintah akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor”. Menteri Perdagangan Rachmat Saleh menyatakan berita itu tidak benar dan bisa memunculkan keresahan).

“Harmoko sudah baca ini?” tanya Soeharto begitu Harmoko ambil duduk.

Harmoko menjawab sudah.

“Bagaimana kok bisa begini?” lanjut Soeharto.

Harmoko menjawab telah melakukan pendekatan dengan pengelola SInar Harapan. Tetapi, belum usai memberi penjelasan, perkataan Harmoko dipotong Soeharto.

“Ya, tapi cara begini tidak bisa. Ini sudah menyalahi UU Pers,” kata Soeharto. “Selesaikan sesuai dengan peraturan, ditutup,” lanjut Soeharto.

Harmoko lalu menoleh ke Benny Moerdani. “Pak Benny tidak berkomentar. Tetapi tangannya mencolek-colek saya memberi isyarat untuk melaksanakan perintah Presiden,” kata Harmoko di halaman 209.

Menjawab perintah Soeharto, Harmoko lalu mengatakan,” Kalau itu memang sudah menjadi keputusan Bapak, ya.. saya ini kan pembantu Bapak. Cuma, apakahtidak lebih baik diselesaikan dengan cara lain?”

Soeharto menggeleng, lalu berkata,” Kalau ini dibiarkan, nanti diikuti oleh yang lain.” Harmoko pun menyatakan kesediannya untuk melaksanakan perintah, meski ia mengaku masih berat menerima keputusan itu. “Dengan melaksanakan keputusan itu, berarti harapan saya untuk tidak melakukan pembredelan tidak kesampaian,” Kata Harmoko di halaman 209.

Harmoko kembali menoleh ke Benny. “Sudahlah Pak Hrmoko, laksanakan saja. Ini perintah,” kata Benny berbisik, menjawab tolehan Harmoko.

Oohya! Jangan lupa baca tulisan terkait ini juga ya: Menghina Lewat Tulisan, Parada Harahap Dicambuk Wartawan Lain.

Sepulang dari Cendana, Harmoko mengundang G Rorimpandey dan Soebagyo Pr, pengelola Sinar Harapan, dan Jacob Oetama, selaku wakil Dewan Pers, untuk datang di kantor Departemen Penerangan esok harinya. Pagi hari, perintah pencabutan SIUPP disampaikan kepada mereka.

Harmoko lantas meminta pengelola Sinar Harapan bikin wadah baru untuk menapung karyawan agar tidak kehilangan pekerjaan dengan jaminan SIUPP baru akan dikeluarkan untuk wadah baru itu. Keputusan ini bukan keputusan Soeharto, melainkan keputusan Harmoko tanpa ia konsultasikan terlebih dulu kepada Soeharto.

Ia pun kemudian melapor kepada Soeharto dan menyatakan rencananya itu dengan alasan banyak karyawan Sinar Harapan yang tetap harus bekerja. “Karena itu, meski ini mendahului Bapak, saya punya kebijaksanaan untuk menyediakan wadah baru bagi teman-teman eks-Sinar Harapan,” kata Harmoko kepada Soeharto.

“Ya sudah, dibicarakan saja,” kata Soeharto, setelah diam sejenak, seperti yang diceritakan di halaman 210.

Ma Roejan

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image