Lincak

Menghina Lewat Tulisan, Parada Harahap Dicambuk oleh Wartawan Lain

Dari kanan ke kiri: Parada Harahap, Sanusi Pane, M Tabrani ( foto: dokumentasi museum sumpah pemuda).
Dari kanan ke kiri: Parada Harahap, Sanusi Pane, M Tabrani ( foto: dokumentasi museum sumpah pemuda).

Pada 12 Januari 1938, Zan Sanibar menyambangi kantor Tjaja Timoer. Ia marah atas tulisan Parada Harahap di Tjaja Timoer yang menyinggungnya sebagai pribumi yang bekerja di koran Cina. Masalah selesai sehingga tak sampai di pengadilan.

Namun ada Djojopranoto yang juga mendatangi kantor Tjaja Timoer di hari itu, yang kemudian berbuntut ke pengadilan. Redaktur Penoentoen itu juga membawa “amunisi” untuk menyerang pemimpin redaksi Tjaja Timoer itu.

Djojo datang membawa perasaan sakit hati. Ia mengatakan Parada telah memperlakukan dirinya seperti yang diperlakukan kepada Zan Sanibar. Kantor berita Aneta seperti dikutip De Tijd dan Algemeen Handelsblad edisi 14 Januari 1938 menyatakan Parada menyebut mereka sebagai pengkhianat rakyat karena telah bekerja di koran Cina. Zan dan Djojo tak melaporkan ke polisi atas tuduhan ini.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Djojo menyebut sudah sekian lama Parada menganiaya dan mencela dirinya lewat tulisan. “Sehingga posisi Djojo menjadi tidak bisa dipertahankan, dia harus merelakan jabatan yang bagus,” tulis Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, 7 Maret 1938.

“Baiklah, ayolah,” kata Parada kepada Djojo. Maksud Parada mempersilakan Djojo memberi hak jawab atau balik menyerang Parada lewat tulisan juga.

Namun, ajakan itu diartikan lain oleh Djojo, yaitu sebagai tantangan duel fisik. Dia langsung menarik cambuk anjing yang ia bawa lalu menyabetkan ke punggung Parada. Zan Sanibar yang masih ada di kantor Tjaja Timoer dan juga redaktur Tjaja Timoer Anwar segera melerai.

“Anda seorang jurnalis bukan?” tanya hakim yang menangani kasus ini kepada Djojo sebagai terdakwa. ”Jurnalis biasa bekerja dengan menulis di buku catatan, tapi ini dengan cambuk anjing?” lanjut hakim menyatakan keheranannya.

Djojo mengaku biasa bepergian membawa cambuk anjing, seperti halnya para orang tua lanjut usia membawa tongkat dan para perempuan membawa lipstik. Namun Djojo menyatakan tak mengetahui yang dibawa jurnalis lain. Mengaku sebagai jurnalis amatir, ia mempersenjatai dirinya dengan cambuk anjing.

Sebenarnya ia bukanlah seorang amatir. Pada 1917, Djojo menjadi pemimpin redaksi Pantjaran Warta setelah seorang Arab mengambil alihnya karena Gunawan dari Sarekat Islam berhenti menerbitkannya. Pada 1927, Djojo dibuang ke Boven Digoel karena pemberontakan PKI. Pada 1932, Djojo memodernisasi huruf Jawa sehingga huruf Jawa bisa dipakai untuk menuliskan kalimat berbagai bahasa. Pada 1939 ia menjadi pemimpin redaksi Warta Harian.

Di hadapan hakim, Djojo mengaku telah menyabet punggung Parada dengan cambuk anjing. Zan dan Anwar sebagai saksi mengakui fakta itu. Namun Parada justru bersikeras tak merasakan ada sabetan di punggungnya. Hakim merasa heran terhadap sikap Parada ini. “Mungkin karena merasa malu?” tulis Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie.

Untuk kasus cambuk anjing, Parada tak melaporkan Djojo ke polisi. Lantas bagaimana bisa sampai di pengadilan? Setelah insiden cambuk anjing, Parada membuat tulisan mengenai peristiwanya dan juga menyatakan tindakan Djojo sebagai hal yang tidak menyenangkan, lalu menyebut Djojo sebagai orang yang menderita gangguan saraf (zenuwpatient).

Esok hari, setelah membaca tulisan Parada, Djojo kembali mendatangi kantor Tjaja Timoer. Lagi-lagi tak memilih melaporkannya ke polisi. Ia tersinggung disebut menderita gangguan saraf.

Ia bawa pisau ke hadapan Parada, lalu meletakkan di meja dan berseru, “Jika urusanmu adalah mengeluarkan roti dari mulutku, ini kamu punya pisau. Sekalian bunuh saja aku.” Nada kalimat Djojo begitu tinggi. “Kalau menyangkut kehormatan dan kamu mengajakku duel, maka aku bisa langsung menentukan tempat dan waktunya.”

Insiden pisau inilah yang dilaporkan Parada ke polisi. Peristiwa cambuk anjing diceritakan di dalamnya. Hakim meminta insiden pisau diselesaikan secara musyawarah, karena belum ada unsur hukum di dalamnya.

Yang ada unsur hukumnya justru insiden cambuk anjing. Namun, karena Parada mengaku tidak merasa kena cambukan, hakim menyatakan hal itu sebagai serangan ringan. Oleh karena itu Djojo belum bisa dikenai hukuman.

Hakim memutuskan memberi hukuman kepada Djojo karena Parada mengaku dirugikan dan dihina secara moral oleh insiden cambuk anjing itu. Cambuk adalah alat untuk mendisiplinkan hewan. Entah seperti apa perasaan Parada disabet dengan cambuk anjing. Hakim lantas menghukum Djojo berupa denda 15 gulden subsider 15 hari kurungan.

Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie menulis, muncul anggapan publik bahwa insiden cambuk anjing memposisikan Djojo sebagai pihak yang telah bertindak tepat. Tindakan Parada berkali-kali menyerang dan menelanjangi orang lain lewat tulisan tak bisa lagi dibalas dengan pena. Seseorang harus mendisiplinkannya dengan cambuk anjing.

Pada 1937, Parada juga pernah berkasus dengan M Tabrani. Kasusnya bermula dari sindiran Parada mengenai edisi khusus 14 Desember 1936 yaitu edisi Lebaran di koran Pemandangan. Parada menyindir koran Tabrani yang besar ternyata hanya bisa menerbitkan satu halaman edisi khusus . Pemandangan lantas membalasnya lewat tulisan pula, mengungkap praktik buruk yang dilakukan Parada.

Mulanya Bang Bedjat di rubrik “Isi Podjok” yang membalas tulisan Parada, 23 Desember 1936. Bang Bedjat adalah nama pena Anwar Tjokroaminoto, redaktur pertama Pemandangan. Ia merasa heran Parada rajin menyerang Pemandangan untuk hal-hal sepele. Bang Bedjat kemudian menuding Parada telah “main kongkalikong” untuk percetakan baru yang akan dioperasikan.

Tabrani menganggap serangan-serangan itu dilakukan Parada untuk membusukkan Pemandangan demi memajukan Tjaja Timoer. Setelah bangkrut pada 1935, Parada mencoba bangkit dengan merintis Tjaja Timoer. Tabrani pada 26 Desember 1936 menegaskan serangan balik kepada Parada perlu dilakukan untuk membuka mata masyarakat mengenai Tjaja Timoer dan Parada.

Tak terima disebut main kongkalikong, Parada melapor ke polisi. Di depan hakim, Tabrani mengaku tak bermaksud buruk dengan menyebut main kongkalikong, karena makna kongkalilong hanyalah bermain komedi. Parada menolak penjelasan itu. Parada, seperti ditulis Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 23 Juni 1937, memberi tahu hakim bahwa kongkalikong berasal dari konkelen, bahasa Belanda yang artinya bersekongkol.

Bataviaasch Nieuwsblad edisi 26 Juni 1937 melaporkan, hakim menghukum Tabrani berupa denda 25 gulden subsider 25 hari kurungan. Harga langganan Pemandangan per tiga bulan saat itu 4,5 gulden. Beserta Tabrani dihukum pula Lim Hap Tjay, redaktur Siang Po yang ikut menurunkan tulisan tentang Parada main kongkalikong. Lim dihukum denda 15 gulden subsider 15 hari kurungan.

Keduanya lantas mengajukan grasi kepada Gubernur Jenderal.

Priyantono Oemar

Sumber: Republika, 20 September 2020, dengan judul "Bertengkar karena Bahasa".