Mahasiswa Perlu Merawat Keberagaman

Ketika generasi milenial lebih suka membangun jejaring secara individu lewat media sosial, Perhimpunan Mahadiswa Bandung (PMB) mempunyai tantangan dalam perekrutan anggotanya. Karena itu, Iwan Poerwo, anggota PMB Angkatan 1964 kembali membuka kembali wacana yang sudah pernah bergulir untuk dipikirkan kembali, yaitu perlu tidaknya memodifikasi sistem penerimaan anggota baru.
Menurutnya, modifikasi itu diperlukan demi menyesuaikan perkembangan zaman dan minat generasi milenial, generasi z, dan generasi alpha. Banyak yang menganggap perploncoan sudah tidak diperlukan lagi karena tak sesuai dengan kebutuhan generasi milenial. Terlebih, biaya perploncoan selama 10 hari itu sangatlah mahal.
Namun, dalam Diskusi Terbuka PMB Menyambut Golden Jubilee PMB Angkatan 1969 itu, Yuga Fadillah, anggota muda PMB dari UIN Bandung yang tergolong sebagai generasi milenial, mengaku masih mendapat manfaat dari perploncoan. Keakraban, kekompakan, terbangun dari perploncoan.
Di diskusi yang diadakan di Ruang Gibraltar Menara 165 Jakarta Selatan itu, Akhmad Bukhari Saleh, anggota PMB Angkatan 1964, menguatkan pengakuan Yugha. Organisasi lain yang tidak menerapkan perploncoan juga banyak yang sepi peminat. Baginya, perploncoan yang memberikan ikatan emosional justru menjadi kekuatan PMB.
Kesediaan anggota PMB berangkat Subuh untuk menghadiri diskusi di Jakarta, adalah sebuah kekuatan. Saat rehat diskusi, Iwan Abdurrahman, anggota PMB Angkatan 1965, berbisik mengenai hal itu. "Jika mereka tak punya ikatan kuat dengan PMB, tak mungkin Subuh-Subuh bersemamgat berangkat ke sini," ujar pencipta lagu "Melati dari Jayagiri" itu.
Saat diskusi, Iwan menegaskan perlunya menjaga semangat. Untuk internal PMB, berarti semangat kebersamaan yang terbangun sejak masa perploncoan dan semangat berbuat sesuatu bersama-sama.
Kebersamaan dalam keberagaman. PMB sejak awal memiliki modal karakter kolektif mengutamakan keberagaman. Menurut Sarwono Kusumaatmadja, anggota PMB Angkatan 1963, mahasiswa perlu terus terlibat dalam merawat keberagaman demi menjaga cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Dalam kaitan itu, Sarwono juga mengingatkan tentang perkembangan zaman. Anak-anak sekarang lebih senang bertemu di coworking space (ruang kerja bersama) untuk menjalankan kerja ide-ide mereka. Orang tanpa perlu terikat organisasi atau perusahaan bisa bekerja bersama di coworking space. Bahkan, coworking space ini juga mulai bermutasi menjadi virtual coworking space.
Di sinilah, menurut Sarwono, perlunya bagi organisasi mahasiswa mencari relevansi organisasi dengan kondisi zaman. Hal itu perlu dilakukan agar organisasi mahasiswa tetap diperhitungkan keberadaannya. Dalam bahasa Tutun Suntana, anggota PMB Angkatan 1964, kejayaan yang pernah diraih PMB perlu terus dipertahankan.
PMB sebagai organisasi mahasiswa dianggap memiliki masa kejayaan di dekade 1960-an. "Saat itu kita menemukan relevansinya karena ada isu Nasakom," ujar Sarwono di hadapan sekitar 100 anggota PMB di Ruang Gibraltar Menara 165, Jakarta, Rabu (3/4/2019).
Keberagaman, menurut Sarwono, memiliki relevansi bagi keberadaan organisasi mahasiswa. Saat ini, Indonesia sedang mendapat gangguan maraknya intoleransi. "Indonesia memerlukan energi positif dan mahasiswa bisa mengambil peran di sini," ujar Sarwono.
Usulan Sarwono merawat keberagaman itu muncul agar mahasiswa ikut bersama-sama menjaga cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sarwono menyebut energi negatif banyak muncul akhir-akhir ini yang mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka, organisasi mahasiswa perlu mencari relevansi keberadaannya dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Berbicara isu keberagaman, Sarwono seperti hendak menegaskan bahwa PMB memiliki karakter kolektif mengutamakan keberagaman. Keberagaman memang perlu dirawat karena Indonesia berawal dari keberagaman. Pancasila menjamin keberagaman.
Hal yang diungkap Sarwono ini, di tahun 1950-an sudah diangkat oleh PMB. Koran berbahasa Belanda Preanger Bode edisi 1 November 1957 memuat hasil polling majalah yang diterbitkan PMB, IDEA. Dari 283 formulir pertanyaan tentang Pancasila yang disebar, ada 222 yang dikembalikan. Hanya satu responden yang tidak setuju Pancasila sebagai dasar negara. Sebanyak 196 responden setuju Pancasila sebagai dasar negara, tetapi ada 16 orang yang menyetujui Pancasila sebagai dasar negara dengan syarat dan sembilan responden abstain.
Anggun Anggrekawati, ketua PMB 2018 menyatakan dalam setahun terakhir PMB telah mencoba terlibat dalam upaya merawat keberagaman di Bandung. Ketika keberagaman terkoyak oleh tindakan intoleran yang terus berkembang, kata Anggun, banyak mahasiswa melirik PMB. "Di kampus-kampus saya lihat ada harapan agar PMB terlibat memberi warna merawat keberagaman di kampus-kampus," ujar Anggun.
Untuk PMB
Ada pengalaman inspiratif dari Kampung Malaumkarta di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Bersama empat kampung yang saling berbatasan mereka membentuk ikatan kampung. Tujuannya agar ada kesatuan aksi dalam menjaga hutan dan laut. Mereka bersatu padu menjaga laut dan hutan, mengusir investor tamg hendak membabat hutan mereka, melarang penggunaan alat modern untuk menangkap ikan.
Mereka pun menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi. Makaumkarta tercatat sebagai kampung di Kabupaten Sorong yang tingkat pendidikannya 30 persen di atas kampung-kampung lain. Mereka mendorong anak-anaknya bersekolah tak hanya untuk belajar akademik tetapi juga mebdorong anak-anaknya aktif di organisasi sekolah dan kampus.
Mereka ingin anak-anaknya memiliki jejaring yang bermanfaat bagi diri pribadi dan bagi kampung mereka. Dan itu terbukti. Jejaring yang mereka miliki ikut mendukung perjuangan mereka menjaga laut dan hutan di kampung mereka. Mereka memanfaatkan media sosial untuk mengabarkan hal-hal yang terjadi di kampung mereka. Mereka memadukan organisasi dan media sosial.
Bagaimana dengan mahasiswa di Bandung? Erna Witoelar, anggota PMB Angkatan 1965, menyarankan pengurus PMB tak usah pusing jika mahasiswa di kampus-kampus top di Bandung tidak berorganisasi di PMB.
Kenapa harus masuk PMB? Menurut Erna, banyak senior yang merasakan memdapat manfaat dari PMB. Pergaulan yang menyenangkan menjadi salah satu manfaat yang sering disebut Wimar Witoelar, anggota PMB Angkatan 1963, di berbagai kesempatan dan di bukunya, Wimar Witoelar: Hell, Yeah.
Tempaan dan jejaring juga manfaat yang banyak dirasakan. "Banyak anggota Wanadri yang nggak lolos perploncoan PMB," ujar Iwan Abdurrahman yang juga anggota Wanadri itu.
Tentang mahasiswa kampus top yang tak masuk PMB, kata Erna Witoelar, mereka yang rugi karena tidak mendapat manfaat tempaan dari PMB. Tetapi PMB menghadapi tantangan zaman. Tutun Suntana, Akhmad Bukhari Saleh, dan Iwan Poerwo menyebut masa kuliah yang hanya empat tahun menjadi salah satu tantangan. Artinya mereka yang masuk PMB saat ini memiliki waktu pendek untuk aktivitasnya sebagai mahasiswa. Muncul kemudian usulan dari Yuga Fadillah agar masa pembimbingan anggota muda diperpendek, tidak lagi satu tahun.
Budi Tryaditia, anggota PMB Angkatan 2009, mengakui ada tantangan untuk merekrut generasi milenial. Ia menyebut ada masalah kultural dan struktural di PMB. Secara kultural ada kesenjangan geberasi di PMB. Ada geberasi babby boomers, geberasi x, generasi milenial, geberasi z, dan mulai hadir generasi alpha. Perbedaan perilaku sosial dan aspirasi mereka sangat berbeda.
Dilihat secara struktural, menurut co-writer buku Millenials Kill Everythings itu, ada permasalahan di perekrutan anggota, pelaksanaan kaderisasi, yang merupakan bagian dari proses regerenasi. Mencermati perilaku dan aspirasi generasi milenial hingga generasi alpha, Budi mengusulkan agar PMB berani meredefinisi kembali keberadaannya, mencakup tujuan organisasi, tantangan, dan model organisasinya, agar memiliki relevansi dengan keberadaan generasi milenial, generasi z, dan generasi alpha. Maka, program-program peningkatan kualitas yang sesuai aspirasi generasi milenial perlu dilakukan.
Program-program yang berkualitas, menurut Erna Witoelar, akan meningkatkan kualitas anggota PMB. Ada banyak kegiatan yang bisa menempa seseorang menjadi berkualitas. Berlatih debat misalnya, yang di tahun 1960-an menjadi materi yang diberukan kepada anggota muda.
Henny Butheim, aktivis pemberdayaan masyarakat yang juga anggota PMB Angkatan 1970 menunjukkan bahwa organisasi mahasiswa juga bisa terlibat dalam pemberdayaan masyarakat. Hal yang sama juga ditegaskan Erna Witoelar, mantan menteri yang anggota PMB Angkatan 1965. Untuk lingkup Bandung, mahasiswa bisa terlibat berbuat sesuatu yang bisa memperlihatkan karakter kota Bandung sebagai Kota Kembang. Seperti misalnya mendorong pemerintah kota membuat hutan kembang.
Kegiatan-kegiatan itu bisa sekaligus menghidupkan PMB. Faris Maryanto, ketua PMB 2019, menyebut PMB lumayan lebih produktif dengan berbagai kegiatan dibandingkan dengan organisasi lokal lainnya. PMB cukup terbantu oleh keterlibatan anggota alumni dalam bentuk dana dan kegiatan angkatan. Semua bersatu-padu meski ada kesenjangan generasi.
Adanya kesenjangan generasi ini, menurut Arief Mochamad, anggota PMB Angkatan 1988, memerlukan pimpinan organisasi yang dapat memfungsikan dirinya sebagai konduktor. "Sang konduktor harus piawai membuat orkestrasi yang harmonis iramanya," ujar aktivis pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan itu.
Mengelola kegiatan juga menjadi tempat berlatih mempertanggungjawabkan keuangan. Ade Indira Sugondo, anggota PMB Angkatan 1970 menyinggung pertanggungjawaban keuangan. Ia memuji salah satu periode kepengurusan yang rapi pertanggungjawaban keuangannya sehingga layak ditiru.
Jujur selama menjadi aktivis mahasiswa akan menjadi bekal di hari kemudian. Bachtiar Aly, anggota PMB Angkatan 1969 menyebut kasus-kasus korupsi yang menimpa rejan-rekannya di Senayan.
Erna mencontohkan penempaan yang ia dapat di PMB. Sebelum menjadi ketua PMB pada 1970, ia aktif di kepanitiaan-kepanitiaan lalu menjadi ketua bidang organisasi di kepengurusan periode 1969. Dengan tempaan itu, ia mengetahui seluk-beluk kepengurusan sehingga ketika menjadi ketua, ia tidak kosong pemahaman.
Pemahaman tentang keorganisasian sepertinya menjadi penting sehingga tahu makna dan tujuan berorganisasi. Ada tujuan bersama yang hendak dicapai? Namun, mahasiswa sekarang yang berasal dati generasi milenial dan generasi z, masih mengganggap perlu berorganisasi ketika mereka bisa membangun jejaring lewat media sosial?
Sarwono mengakui perkembangan teknologi informasi telah membuat individu bisa membuat jejaring melaui media sosial. Berorganisasi, kata Sarwono, berarti membangun jejaring di antara orang-orang yang memiliki energi positif. Jejaring itu bisa berguna sepanjang masa.
Pada kenyataannya, masih diperlukan pergaulan lewat pertemuan fisik. Jejaring itu bisa berumur panjang, kata Iwan Abdurrahman, karena ada ikatan emosional yg terbentuk dalam pergaulan secara fisik di organisasi. Anggota PMB Angkatan 1965 ini mengingatkan perlunya menjaga jejaring agar individu-individu bisa memainkan perannya seperti yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Individu-individu dengan energi positif itu perlu bersatu dalam jejaring itu. "Networking energi positif yang dibangun akan tetap berguna di masa datang," ujar Iwan.
Iwan mengaku senior-senior PMB yang masih merasakan manfaat dari jejaring yg mereka bangun 50 tahun lalu. Jejaring energi positif itu terus mereka kelola untuk berbagai tujuan demi kemajuan Indonesia.
Mengelola energi positif untuk merespons persoalan bangsa, menurut Juwanto anggota PMB Angkatan 2009 perlu ditopang oleh bekal literasi yang harus dimiliki anggota PMB. Ia menilai anggota PMB saat ini masih perlu meningkatkan kemampuan literasinya.
Membaca buku biografi Sarwono, Memilih Jalan Tengah, terlihat betapa Sarwono memperlihatkan kemampuan literasinya. Ia harus banyak membaca buku-buku humaniora dan mencerna berbagai informasi dari setiap peristiwa. Saat SMA pun ia sudah tepat analisisnya ketika memprediksi bahwa Charles de Gaulle akan menjadi presiden Prancis.
Mengutip Klaus Schwab, penulis buku The Fourth Industrial Revolution, penting orang per orang mengembangkan empat kecerdasan (intelligence). Yaitu kecerdasan kontekstual (contextual intelligence) yang menerlukan pikiran kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang menerlukan hati, kecerdasan inspiratif (inspired intelligence) yang memerlukan jiwa, dan kecerdasan fisik (physical intelligence) yang memerlukan tubuh. Perlunya penguasaan empat kecerdasan ini agar dapat bersiasat dengan perubahan zaman.
Maka, kata Djanaka Djatnika ketika menutup diskusi, keterlibatan seluruh elemen di PMB akan dapat mengatasi tantangan yang dihadapi organisasi. Hal itu akan membantu PMB dapat bersiasat dengan perubahan zaman.
Gili Trawangan, 9 April 2019
Priyanrtono Oemar
Sumber: Multimedia Magazine PMB, Peringatan 50 Tahun PMB Angkatan 1969, Juli 2019.
