Dari Mana Asal Akhiran in yang Digunakan dalam Bahasa Indonesia?
Karena belum ada aturan baku, maka muncul perdebatan mengenai bentuk kata atau bentuk kalimat yang dipakai dalam bahasa Indonesia di tahun 1930-an – 1940-an. Akhiran “in”, misalnya, membuat pengembang bahasa Indonesia mengungkapkan kegusarannya.
Akhiran ini dipengaruhi oleh bentuk kata dari bahasa Arab: “hadir” sebagai kata tunggal, menjadi “hadirin” untuk menggambarkan banyak. Lalu ada “mukim” yang dilengkapi dengan “mukimin”. Ada “mukmin” diikuti oleh “mukminin”. Dan sebagainya.
Akhiran ‘in” yang tidak tepat itu mudah ditemukan di surat-surat kabar, terutama surat-surat Cina. Contohnya: salahin, kiterin, mulain, hinggapin, dan sebagainya.
Hm, koq bang Bedjat jang disalahin (Pemandangan, 12 April 1940).
Orang-orang Amerikaan kaliatan soeka sekali melantjong kiterin doenia dan sering kali iaorang tiada loepa aken mampir ka Insulinde, “the garden of the East” (Majalah Sin Po, 7 April 1923).
Kapan moelain? Di Indonesia ada sampe tjoekoep orang orang Tionghoa jang hartawan, ... (Majalah Sin Po, 24 April 1926).
Untuk bisa menilai bahwa contoh-contoh di atas itu salah, panduannya tentu saja masih aturan bahasa Melayu. Sehingga dinilai sebagai tidak mengindahkan aturan bahasa (Melayu). Arvai Djauharsjah mengkritik penggunaan kata-kata yang menyalahi hukum bahasa Melayu itu. Untuk akhiran “in” ia mengatakan:
Dalam ilmoe sjaraf memang ada achiran in, tetapi tidak begitu memakainja. Achiran in dipakai oempama dari perkataan hadlir menjadi hadlirin d.l.l. (Soeara Oemoem, 4 Juni 1938).
Tak hanya soal akhiran “in” yang bermasalah. Penggunaan kata yang tidak tepat pun menjadi masalah. Arvai Djauharsjah juga mempersoalkan penggunaan kata yang tidak tepat, baik dalam surat-surat kabar maupun dalam pidato-pidato, seperti kata “membilang”:
Saja membilang terima kasi sedang betoelnja saja mengoetjap terima kasih. Perkataan membilang sebetoelnja berarti menghitoeng (Soeara Oemoem, 4 Juni 1938).
Sedangkan untuk pengunaan kata-kata seperti “sampe” dan “kasi” yang seharusnya “sampai” dan “kasih”, kata Djauharsjah:
Alangkah djanggalnja apabila kita melihat toelisan-toelisan: djikalo, kerbo, soedara, atawa jang moestinja: djikalau, kerbau, saudara, atau demikian djoega dengan halnja: rame, sate, pande, pake (jang betoelnja: ramai, satai, pandai, pakai), karena ketjoeali hal ini menjalahi hoekoem jang soedah ada, djoega dalam oetjapan antara “au” dan “o” atau “oe”. Poela dengan halnja “ai” dengan “e” soenggoeh berlainan (Soeara Oemoem, 31 Mei 1938).
Priyantono Oemar