Lincak

Belum Diketahui Kaum Terpelajar Indonesia, Upaya Benahi Kekacauan Bahasa Indonesia Terus Dilakukan

KBBI V, salah satu upaya pengembangan bahasa Indonesia agar tidak menjadi bahasa yang jacau (foto: priyantono oemar).
KBBI V, salah satu upaya pengembangan bahasa Indonesia agar tidak menjadi bahasa yang jacau (foto: priyantono oemar).

Hingga tahun 1938, menurut Soeara Oemoem, kewajiban mengetahui bahasa sendiri di kalangan terpelajar Indonesia belum muncul 100 persen. Apalagi di kalangan awam. Kebanyakan dari anak-anak sampai orang dewasa masih menulis dan bercakap-cakap dengan cara Barat. “Bahkan, ada poela kedapatan orang jang maloe memakai basanja itoe,” tulis Soeara Oemoem edisi 17 Juni 1938.

Soeara Oemoem memuji Ejaan van Ophuijsen sebagai panduan bahasa yang cukup baik. Orang buta pun tak akan sulit menerapkannya karena cukup menyenangkan penerapannya. Meski yang menyusun ejaan ini orang Belanda dan semula untuk orang Belanda, tapi masih saja ada orang Belanda yang belum matang penguasaan bahasanya. Mereka yang termasuk dalam golongan ini akan menulis menurut yang ia dengarkan, hal yang juga dilakukan oleh orang Indonesia. Orang Belanda mengeja Banten menjadi Bantam. Mengeja Cirebon menjadi Cheribon. Dan sebagainya.

Anggota Volksraad, Soangkoepon, pernah mengalami salah eja yang disengaja. Oleh jurnalis-jurnalis Belanda, namanya sering ditulis menjadi “Zwamcoupon” (kupon pupuk) dengan maksud melontarkan ejekan yang merendahkan (Soeara Oemoem, 16 Juli 1938).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dalam kasus lain, ketika orang Belanda mengucapkan “voorloper”, di lidah Indonesia menjadi “pelopor”. Lalu ketika orang Belanda mendengar orang Indonesia mengucapkan pelopor, di telinga Belanda terdengarnya “ploper”, lalu menuliskannya menjadi “plopper” yang artinya sama sekali berbeda dengan “voorloper”.

PSSI menjadi lembaga di luar pers yang berusaha menggunakan istilah-istilah baru menggantikan istilah-istilah asing. Misal “keeper” diganti dengan “penjaga gawang”, “back” diganti dengan “pembontat”, “referee” diganti dengan “wasit”. Chronos lewat rubrik “Isi Podjok” Soeara Oemoem, mengkritiknya:

Apakah kata kata baroe dari PSSI itoe bisa lakoe, Chronos tidak tahoe. Kata kata doeloe model PSSI seperti “penjaga gawang”, pembontat” terang tidak lakoe dikalangan ra’jat. Perkaataan “keeper” dan “back” lebih gampang dan terang! Rakjat poen menggoenakan kata kata itoe, Chronos sendiri djoega selaloe berkata: keeper, back.

...

Kata wasit boeat referee ada harapan bisa hidoep, sebab kata itoe moedah dioetjapkan dan pendek, Chronos tjoema kata ada harapan, sebab ingat gerakan Purisme dinegeri Belanda misalnja, kata vernufteling sebagai pengganti kata ingenieur tidak bisa hidoep, sebab pergantian itoe geforceerd dan kunatmatig, tidak dari ra’jat (Soeara Oemoem, 9 Juni 1938).

Sebagai bahasa baru --yang belum memiliki aturan, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang juga tidak segera dipahami oleh pendengarnya. Itulah sebabnya, Belanda menyebutnya sebagai bahasa yang kacau. Oohya! Baca juga ini ya: Bahasa Indonesia yang Kacau Itu, Kata Sutan Takdir Alisjahbana: Kekacauan yang Nikmat.

Priyantono Oemar