Tinta Wartawan Republika Terus Menetes, Meski Mereka tidak Disebut Kuli Tinta Lagi
Republika bermigrasi ke platform digital.
Jika tinta ulama nanti ditimbang, akan lebih berat dari darah syuhada. Ada hadis dhaif yang isinya demikian, namun sebagian ulama tidak mempermasalahkan itu karena tidak terkait dengan akidah. Apalagi, Tuhan juga menuliskan takdir dan kejadian alam semesta hingga hari akhir nanti. Adalah Alqalam yang dipakai untuk menuliskannya di Lauh Mahfudz.
Tetesan tinta ulama dapat mengurangi kucuran darah syuhada. Tinta para ulama menjadi tameng syuhada. Perang bisa dicegah dengan tulisan para ulama yang dipakai oleh para raja untuk melakukan diplomasi agar tidak terjadi perang. Demikian pulalah tinta para wartawan, sehingga ada masanya wartawan dijuluki sebagai Kuli Tinta, mengalahkan julukan yang mulia: Ratu Dunia. Ketika komputer muncul, muncul julukan Kuli Disket menggantikan Kuli Tinta.
Kata Adinegoro, Ratu Dunia sesungguhnya bukan pers, melainkan anggapan umum. Kalau sekarang disebutnya pendapat publik. Wartawan beserta pers hanyalah alat penting untuk menyampaikan anggapan umum itu.
“Anggapan umum itu ibarat air sungai, dalam keadaan biasa mengalir dengan tenang, anak-anak bermain di tepinya dengan tiada berbahaya, tetapi tiba hujan besar berturut-turut, maka sungai itu banjir, tepian tempat mandi, rumah, dan hewan dihanyutkannya. Air sungai yang tenang menjadi air bah, sifatnya yang senyum-simpul menjadi liar, suaranya yang riang menjadi menderum, warnanya yang putih menjadi keruh, itulah lambang masyarakat dan negara dalam revolusi,” tulis Adinegoro di buku Falsafah Ratu Dunia.
Anggapan umum, kata dia, bisa dibentuk seperti membendung air sungai lalu mengalirkannya menurut acuannya. Tetapi ada syarat-syarat pembentukannya, teknik-teknik pembentukanya, dan perlu ada alat-alatnya. Tak heran jika kemudian, baik Sukarno maupun Soeharto juga tergoda untuk mengatur pers Indonesia karena mereka bisa memakainya sebagai alat penerangan, untuk tidak mengatakan alat propaganda.
Di masa Orde Lama, pers digunakan untuk menyampaikan indoktrinasi Manipol/Usdek dan Pancasila yang dilakukan secara terpimpin. Sedangkan di masa Orde Baru, pers Indonesia dikembangkan sebagai pers Pancasila, diarahkan untuk mendukung pembangunan. Boleh melakukan kontrol sosial, tetapi harus dilakukan secara konstruktif.
DI tengah situasi seperti itulah, Republika lahir pada 4 Januari 1993 menjalankan jurnalisme profetik agar darah syuhada tak lagi mengucur. Saat itu kekuasaan Soeharto sedang kuat-kuatnya, sehingga banyak aktivis mahasiswa yang setelah lulus memilih menjadi wartawan. Yang melamar ke Republika pun banyak mantan aktivis mahasiswa. Di dalamnya, tenaga-tenaga yang sudah ada untuk menyiapkan Republika lahir, banyak juga cendekiawan cum aktivis yang siap melontarkan kritik kepada Orde Baru. Para cendekiawan cum aktivis ini duduk di jajaran Dewan Redaksi dan Divisi Litbang.
Itulah sebabnya pernyataan “Republika siap mengkritik” muncul di beberapa media sebagai berita menyambut kelahiran Republika. Saat itu ada pesimisme dari kalangan pers bahwa Republika tidak akan menjadi kawan dalam mengkritik pemerintah, karena sahamnya mayoritas dimiliki Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin BJ Habibie. Tapi pesimisme itu ditepis, dan itu dibuktikan dalam perjalanannya. Kolom “Resonansi” yang diisi oleh beberapa cendekiawan cum aktivis yang menjadi anggota Dewan Redaksi, cukup galak isinya. Berita utama juga galak, meski juga harus merangkul.
Aksi merangkul itu, seperti diceritakan Parni Hadi, mantan pemimpin redaksi Republika, pada ulang tahun ke-25 Republika, dilakukan juga kepada kelompok Petisi 50 yang sejak tahun 1980-an dikucilkan Soeharto. Suara mereka dibungkam, sehingga mereka menerbitkan sendiri pemikiran-pemikiran mereka dan diedarkan secara sembunyi-sembunyi. Slogan yang mereka pakai, “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” juga dipakai oleh Republika sebagai slogan bersama slogan “Koran Masyarakat Baru”. Yang dimaksud “masyarakat baru” adalah masyarakat madani.
Parni Hadi bercerita, Petisi 50 sering mengundang wartawan untuk jumpa pers, tetapi sangat susah masuk media karena kontrol penguasa yang begitu ketat kepada pers. Budaya telepon dari penguasa kepada pers biasa terjadi. Republika, kata Parni, sering mendapat telepon juga.
Sebelum Republika terbit, kepada kelompok Petisi 50, Parni menyarankan agar mengubah strategi. Tidak lagi mengadakan jumpa pers, melainkan mengunjungi para pejabat penting. Dengan cara ini, berita mengenai Petisi 50 tidak lagi menjadi berita kilas, karena yang diangkat terlebih dulu di dalam berita itu adalah pejabat yang dikunjungi, lalu dilanjut dengan omongan dari Petisi 50. Belum menjadi berita halaman satu, memang, tetapi ada perkembangan.
Sampai kemudian tiba waktunya, Habibie mengundang Petisi 50 mengunjungi perusahaan-perusahaan strategis seperti IPTN dan PAL pada 1994. Hanya Republika --seperti yang biasa disinggung oleh Nasihin Massa, semasa menjadi pemimpin redaksi ketika berbicara di depan calon-calon reporter-- yang memuatnya di halaman satu, menjadi berita utama. Rupanya, media lain menunggu sikap Republika. Karena Republika baik-baik saja, maka media lain baru berani juga menempatkan berita Petisi 50 di halaman sau.
Kemunculan Republika saat itu juga mengundang pertanyaan bisa tidaknya Republika bekembang secara bisnis, sehingga tidak gulung tikar seperti koran-koran Islam lainnya. “Kalau Republika sampai bangkrut hanya karena konflik intern yang tak terkendali, berarti merupakan cermin runtuhnya idealisme umat Islam Indonesia,” kata Buya Syafi’i Maarif, pada 24 Januari 1993.
Harapannya, wartawan Republika tentu saja terus berusaha memuliakan tintanya di platform media yang baru, agar menjadi hamba Allah yang layak.
Priyantono Oemar
Sumber: Republika edisi Sebtu, 31 Desember 2022.
Oohya! Baca juga tulisan terkait:
- Cerita tentang Koran yang Dipersonalisasi, Tahap Awal Menuju Digital. Republika.