Di Desa Selo di Pegunungan Kendeng, Orang tak Bisa Pakai Uang Digital untuk Beli Nasi
Ki Ageng Selo melarang anak cucunya menjual nasi. Maka peziarah makam Ki Ageng Selo tak bisa menggunakan uang digital untuk membeli nasi di Desa Selo.
Ki Ageng Selo memiliki pantangan untuk anak keturunannya. Guru Joko Tingkir ini dulu memiliki pesantren di Desa Selo, sekarang masuk Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, wilayah Pegunungan Kendeng.
Selain, kiai yang mengajarkan agama Islam, Ki Ageng Selo juga sebagai petani. Saat menggarap sawah untuk ditanami padi, ia menangkap petir. Oohya! Jangan lupa baca ini ya: Melihat Pintu Bledhek Tiruan Ukiran Gambar Petir yang Ditangkap Ki Ageng Selo.
Tanaman padi juga berkaitan dengan leluhur Ki Ageng Selo. Ki Ageng Selo merupakan anak dari Ki Ageng Getas Pandawa. Ki Ageng Getas Pandawa adalah anak Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih. Dewi Nawangsih merupakan anak Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan. Dewi Nawangwulan yang merupakan bidadari, bisa menjadi istri Jaka Tarub karena selendangnya disembunyikan Jaka Tarub sewaktu ia mandi di sendang di Desa Tarub (berdekatan dengan Desa Selo), sehingga tidak bisa pulang ke Kahyangan.
Selama hidup bersama Jaka Tarub, persediaan padi di lumbung terlihat tidak berkurang, kendati tiap hari dimasak oleh Dewi Nawangwulan. Rahasianya, Dewi Nawangwulan hanya memesak sekepal beras, tetapi bisa cukup untuk keperluan makan sehari. Selama memasak nasi itu, Dewi Nawangwulan melarang Jaka Tarub berada di dapur.
Tapi, suatu hari Jaka Tarub melanggarnya, ia melihat hanya segenggam beras yang dimasak. Sejak itu, Dewi Nawangwulan tak bisa lagi memberikan keajaiban, sehingga padi di lumbung akhirnya habis dimasak. Oohya! Jangan dilewatkan yang satu ini: Mengapa Masyarakat Dayak Meratus Menyimpan Gabah Hingga Belasan Tahun? Ini Jawabannya.
Cerita lisan yang dicatat T Wedy Utomo dalam buku Ki Ageng Selo Menangkap Petir, yang terbit tahun 1983, pada masa Ki Ageng Selo ada di Desa Selo, ia biasa melakukan khitanan missal untuk memperingati hari kelahiran Nabi. Warga miskin akan mendapatkan satu kuintal beras per keluarga., jagung setengah kuintal, sebagai persediaan masa paceklik. Para musafir yang singgah di Selo dipersilakan beristirahat untuk makan agar bisa kuat melanjutkan perjalanan.
Dari sinilah ia mengawali pantangan tidak boleh menjual nasi. Sebelumnya ada kasus, ada musafir yang tidak makan makanan yang telah ia siapkan karena musafir itu sudah makan di warung, jadi masih kenyang. Makan diwarujng artinya musafir itu harus membayar ke tukang warung. “Barang siapa menjual nasi kepada orang lain, maka orang yang berbuat melanggar pepalang tersebut hidupnya akan menderita,” tulis T Wedy Utomo.
Oohya! Jangan lewatkan juga: Masyarakat Dayak Saja Punya Padi Mencapai 26-40 Jenis, Mengapa Harus Impor Beras?
Jadi, pengunjung yang berziarah di makam Ki Ageng Selo tak bisa mengunakan uang digital QRIS untuk membeli nasi di Desa Selo. Oohya! Silakan baca juga: Di Warkop BKI, Beli Mi Rebus Sudah Bisa dengan Uang Digital Lewat QRIS.
Priyantono Oemar