Perempuan Papua Mengolah Sagu, Bagaimana Caranya?
Perempuan Papua seharian berada di hutan untuk mengolah sagu.
Perempuan Papua, sehari-hari berada di hutan. Di Kampung Inam, Distrik Kebar Timur, Kabupaten Tambraw, Papua Barat Daya, mereka berangkat ke hutan pukul 10.00 dan baru pulang pukul 17.00. Di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, mereka berangkat ke hutan pukul 06.00, pulang pukul 17.00. Tiba di rumah harus menyiapkan makan malam, membantu belajar anak, dan baru berangkat tidur pukul 22.00.
Apa yang mereka makan? Bisa ubi, bisa papeda. Papeda adalah makanan yang terbuat dari tepung sagu. Di Malaumkarta, masyarakat masih biasa mengonsumsi sagu. Biasanya, mereka baru menyajikan nasi beras jika ada tamu yang datang ke kampung mereka.
Papeda hanya salah satu jenis olahan tepung sagu. Tapung sagu juga bisa diolah menjadi kue, roti bakar, bahkan bis apula dijadikan mi instan. ‘’Sebuah kue sagu, saat mengeras perlu direndam dalam air sebelum dimakan. Itu akan melunak, dan mengembang menjadi lembek seperti biscuit yang kena air; tapi bila dimakan tanpa dibasahi (kecuali matang di oven) rasanya aneh, seperti pasir di dalam mulut,’’ tulis Kapten Thomas Forrest dalam A Voyage to New Guinea (1779), seperti dikutip David Pickell di buku Kamoro, Sagu di dapat di hutan.
Laki-laki bertugas memangkur batang sagu, perempuan kebagian mengolah hasil pangkuran batang sagu menjadi pati. Caranya, hasil pangkuran disiram air lalu diremas-remas. Ampas dibuang. Air remasan dibiarkan mengendap semalaman, jadilah pati sagu, yang jika dikeringkan akan menjadi tepung sagu. Dalam sebulan, satu keluarga memerlukan dua noken sagu. Sesuai ukuran noken, satu noken sagu bisa memuat 15-30 kg tepung sagu. Jika dijual, 15 kilogram tepung sagu itu laku Rp 150 ribu.
Nutrisionis Lie Goan Hong pada 1979 melakukan penelitian di Papua. seperti dikutip Pickell, ia menemukan kalori rata-rata orang dewasa yang menyantap sagu mencapai 3.600 kal. Orang Inggris yang biasa makan gandum, kalori di dalam tubuhnya rata-rata 3.317 kal.
Menurut Meli Kalami, warga Kampung Malaumkarta, pohon sagu di Malaumkarta disebut ewa. Tepung sagu disebut kamolfe. Kamolfe juga memiliki arti “yang menguatkan”, “yang menghidupi”. Sagu ada banyak di hutan. Jadi, hutan yang dianggap sebagai ibu, terus-menerus menyediakan bahan makanan untuk kehidupan orang-orang Papua.
Ma Roejan