Pitan

Warga Sekitar Gunung Lewotobi Banyak yang Hipertensi, Kenapa?

Dokter Cinthya Clara Tokan, Dokter Anita Lia, dan Dokter Elisabeth Tapowolo yang menjadi relawan Posko Jenggala memberikan pelayanan kepada warga Desa Pululera yang sudah dipulangkan dari kamp pengungsian. Mengapa banyak warga yang mengalami hipertensi? Sumber: priyantono oemar

Filipus Pudemare lahir di Pulau Lembata pada 1946. Pada 1960 ia pindah ke Flores Timur, menjadi pelayan pastur di Seminari Santo Dominggo di Desa Hokeng Jaya yang berada di radius 4-5 kilometer dari Gunung Lewotobi.

Ia telah mengalami bencana erupsi Gunung Lewotobi tujuh kali. Delapan tahun menjadi pelayan pastur, ia meminta pindah di bagian pertukangan hingga kemudian menjadi kepala tukang.

Pada 1969 Gunung Lewotobi meletus, tapi tidak sehebat erupsi pada 3 November 2024 yang telah membuatnya harus mengungsi. Pada 1970 ia mengajukan diri untuk memiliki rumah, dikabulkan oleh pastoral.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Selama ada erupsi Lewotobi sejak 1969 hingga 2024, baru pada 2024 inilah, rumahnya yang berukuran 7x10 meter persegi itu rusak oleh abu dan batu kerikil erupsi. “Atap sengnya hancur,” kata Filipus.

Dokter Jazz Meha dan Dokter Christian Kleden sedang memeriksa kesehatan dua warga eks pengungsi erupsi Gunung Lewotobi. Banyak yang mengalami hipertensi. Sumber: priyantono oemar

Kebun seluas satu hektare yang ia tanami kakao, kemiri, alpukat, padi, dan buah-buahan lainnya, juga ikut rusak. Bulan November adalah masa warga di sekitar Gunung Lewotobi menyiapkan bibit padi, tapi mereka tak bisa melakukannya akibat erupsi.

Bung Karno beruntung, ketika ia dibuang di Ende 1934-1938, tidak terjadi erupsi gunung di Flores. Danau Kelimutu yang pernah dikunjungi Bung Karno terjadi akibat erupsi Gunung Kelimutu pada 1886.

Menurut laporan Soerabaijasch Handelsblad edisi 27 Mei 1932, Gunung Lewotobi pernah erupsi pada 1821, 1861, 1868, 1869, 1907, 1909, 1910, 1914, dan 1921. Yang mengalami erupsi 1921 adalah Gunung Lewotobi Perempuan. Selebihnya adalah Gunung Lewotobi Laki-laki.

Gunung Lewotobi mengalami erupsi sebelum Bung Karno dibuang ke Ende dan setelah Bung Karno dipindah ke Bengkulu. Erupsi itu terjadi 1932 dan 1933, Bung Karno tiba di Ende pada Januari 1934. Lalu pada 1939 dan 1940, Bung Karno dipindah ke Bengkulu pada Oktober 1938.

“Pada 17 Desember 1939 tercatat terjadi letusan yang menyebabkan hujan batu di kampung Hokeng dan Sukatukang,” tulis Het Nieuws van den Dag voot Nederlandsch Indie edisi 27 Februari 1940.

Erupsi terjadi lagi pada 19 Desember 1939, lalu pada 16 Januari 1940. Erupsi berikutnya terjadi pada 1969, 1970, 1990, 1992, 1999, 2002, lalu terakhir pada 2024.

Mereka yang berada di desa-desa yang berada di radius sampai enam kilometer masih harus tinggal di pengungsian sejak 4-5 November 2024 untuk kemudian mengisi rumah hunian sementara. Ada opsi merelokasi warga desa yang berada di radius 1-6 kilometer itu.

Warga desa yang berada di radius tujuh kilometer ke atas sudah dipulangkan ke desa masing-masing pada 7 Desember 2024. Mereka sudah beraktivitas di ladang.

Mereka yang masih tinggal di kamp pengungsian tak perlu mengkhawatirkan kondisi kesehatan. Sebab, di setiap kamp pengungsian disediakan pos kesehatan yang buka 24 jam.

Polindes di Desa Boru Kedang rusak akibat erupsi Gunung Lewotobi. Dari 108 warga Boru Kedang yang berobat ke Posko Jenggala, sebanyak 12 orang diketahui mengalami hipertensi. Sumber: priyantono oemar

Namun, mereka yang sudah pulang menjadi jauh dari fasilitas pengobatan, karena puskesmas terdekat, Puskesmas Boru, masih tutup. Puskesmas ini juga terkena dampak dari erupsi Gunung Lewotobi itu. Polindes-polindes juga rusak.

Lebih dari dua minggu setelah pulang dari pengungsian mengalami gejala sakit, mereka tidak bisa berobat. Ada yang mengalami sakit karena jatuh, baru bisa berobat setelah dua hati menahan kesakitan sebelum bertemu dengan dokter relawan Posko Jenggala. Dan sebagainya.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

oohya.republika@gmail.com