Sekapur Sirih

Melokalkan Istilah Asing, Sesatkah 'Baby Boomer' Jadi 'Anak Orla', 'Take Away' Jadi 'Bungkus'?

Dua kali dalam setahun, Badan Bahasa mengadakan Sidang Komisi Istilah. Sidang ini membahas padanan yang cocok untuk istilah asing yang ada di berbagai disiplin ilmu. Mungkinkah ada salah konsep jika padanan itu dicarikan dari istilah-istilah lokal?
Dua kali dalam setahun, Badan Bahasa mengadakan Sidang Komisi Istilah. Sidang ini membahas padanan yang cocok untuk istilah asing yang ada di berbagai disiplin ilmu. Mungkinkah ada salah konsep jika padanan itu dicarikan dari istilah-istilah lokal?

Oleh Priyantono Oemar, Bergiat di Komunitas “Jejak Republik”

Ketika satu adegan dalam pembuatan film selesai dikerjakan, sang sutradara akan teriak “bungkus” jika pekerjaannya memuaskan. Kamus Merriam-Webster mencatat definisi teriakan “bungkus” ini. Bahasa Inggrisnya it’s/that’s a wrap:used to say that the filming of a movie or television show or one of its scenes is finished (—Digunakan untuk mengatakan bahwa pembuatan film atau acara televisi atau salah satu adegannya telah selesai).

Tapi, di Indonesia, “bungkus” tidak hanya milik sutradara. Pedagang makanan juga memiliki idiom “bungkus”, yang artinya dibawa pulang: Makan di sini atau bungkus? Ketika pembeli memilih “bungkus” artinya makanan yang dipesan akan dibawa pulang. Lalu, pedagang juga memiliki penanda: yang pedas bungkusnya disobek atau yang pedas yang karetnya dua.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sewaktu berkunjung ke Amerika Serikat pada 2005, saya mendapat pengarahan soal istilah-istilah lokal yang dipakai di Amerika: Kalau pesan makanan, katakan “dine in” untuk “makan di tempat”, dan “take away” untuk “dibawa pulang”. Jika bilang “wrap”, penjual tidak akan paham.

Namun, ketika istilah dine in dan take away masif digunakan di Indonesia, ada yang memakai bawa pulang sebagai padanan dari take away. Mengapa tidak memakai istilah yang sudah kita punyai: bungkus? Ini namanya melokalkan istilah asing. Konsep dari istilah asing dipadankan dengan konsep lokal yang sudah ada. Ada anekdot: seseorang beli tekwan, pedagang bertanya mau dine in atau take away. Pembeli menjawab: dain in dong, kan namanya tekwan, bukan tekwei. Garing ya, he he he ...

Garing untuk makanan (renyah) dalam bahasa Inggris disebut crispy. Di Amerika Serikat, crispy dipakai juga untuk menyebut uang yang masih gres. Di Indonesia, sebutan uang baru ditujukan untuk menyebut uang edisi baru, yang sebelumnya tidak ada. Tentu kita tak menginginkan uang crispy dipadankan menjadi uang krispi atau uang renyah, hanya karena KBBI sudah memadankan crispy menjadi krispi. Apalagi menyebutnya uang baru. Kita sudah biasa mengatakan gres untuk menyebut benda yang masih terlihat baru.

Ketika di Indonesia toilet sudah tersebar di mana-mana menggantikan WC dan kakus/jamban, di Amerika pada 2005 itu toilet tidak dikenal. Pengarahan yang saya terima: Kalau mau ke toilet, bilang saja “rest room”.

Pada akhir 2000-an, ada hotel baru di Surabaya yang menggunakan istilah rest room. Suatu saat ada seminar di hotel itu, ada pembicara seminar yang keluar dari ruang seminar lalu dicegat wartawan. Sang wartawan perlu memberi penanda tempat yang digunakan untuk wawancara. Ia melihat papan rest room. Jadilah berita yang menyebutkan nara sumber memberi penjelasan di rest room. Lalu, akankah kita memberi padanan rest room secara literal sebagai ruang rehat?

Republik ini sudah memiliki jejak pemadanan istilah asing dengan menggunakan istilah lokal, tak melulu menggunakan penerjemahan secara literal. Automatic Teller Machine (ATM) tidak diterjemahkan secara literal menjadi Mesin Teller Otomatis, melainkan dilokalkan dengan Anjungan Tunai Mandiri, yang disingkat ATM juga. Maka, dalam Sidang Komisi Istilah yang diadakan Badan Bahasa pada Juni 2023, muncullah mak-mak macan sebagai padanan dari tiger mom/tiger mother, bodi bapak-bapak untuk padanan bod dad, anak orla sebagai padanan baby boomer.

Dosen Unpas, Tendy K Somantri, mempermasalahkan padanan anak orla untuk baby boomer di rubrik Bahasa, Kompas, 27 Juni 2023. Ia khawatir pemadanan itu menjadi “sesat konsep”, karena orang Amerika Serikat tidak mengenal orde lama. Ia lalu mengutip pengertian baby boomer di kamus Merriam-Webster: (especially) baby boomer is a person born in the U.S. following the end of World War II (usually considered to be in the years from 1946 to 1964).

“Apabila kita terjemahkan baby boomer sebagai anak orla, apakah kalimat yang muncul tidak akan membingungkan? Apakah di Amerika Serikat pernah ada yang namanya orde lama?” tulis Tendy.

Definisi baby boomer di kamus itu jelas-jelas merujuk pada kejadian di Amerika Serikat ketika Amerika Serikat mengalami ledakan penduduk setelah Perang Dunia II pada kurun 1946-1964. Dengan alur argumen yang sama, kita bisa balik bertanya kepada Tendy: Apakah di Indonesia pernah ada ledakan penduduk setelah Perang Dunia II pada kurun 1946-1964?

Dari 60,7 juta jumlah penduduk Indonesia pada 1930, hanya bertambah 37 juta selama 30 tahun hingga 1961 dengan jumlah penduduk 97,7 juta. Harusnya kita juga bingung jika menggunakan istilah bayi bumer untuk menyebut genrasi yang lahir pada 1946-1964, kendati di KBBI boom sudah diserap menjadi bum. Ledakan penduduk justru terjadi setelah Orde Baru. Pada 1971 jumlah penduduk sudah 118,2 juta, lalu dalam sembilan tahun meningkat menjadi 146,9 juta pada 1980, 178,5 juta pada 1990. Dalam 19 tahun saja (1971-1990) ada pertambahan penduduk 60,3 juta jiwa.

Tapi, pengguna bahasa biasanya tidak akan peduli pada kaidah-kaidah pemadanan istilah asing. Yang mereka pedulikan biasanya, istilah itu enak digunakan atau tidak? Populer atau tidak? Dengan kenyataan seperti ini, pemakaian anak orla dan bayi bumer akan sangat bergantung pada pengguna bahasa. Sidang Komisi Istilah biasanya juga memperhatikan istilah-istilah yang sudah populer di masyarakat pengguna bahasa. Karena mak-mak sudah populer, maka dipakailah dalam mak-mak macan untuk padanan tiger mom.

Memakai anak orla sebagai padanan dari baby boomer adalah upaya melokalkan istilah asing sehingga sesuai dengan konteks keindonesiaan. Itu tidak salah, karena memang dibolehkan, sehingga tak perlu takut “sesat konsep” karena sudah ada banyak kata yang memiliki makna berbeda dari makna asalnya. Pemahamam dan kultur antara pemadan istilah dan masyarakat pemilik istilah yang disebut Tendy menjadi penyebab “sesat konsep” telah terjadi bertahun-tahun. Tak perlu disesali, karena itu adalah upaya mencari padanan istilah yang disesuaikan dengan konteks budaya Indonesia.

Tapi, jika susah mencari padanan berdasarkan konteks budaya Indonesia, mau tidak mau ya ambil aslinya. Seperti foyer, misalnya, yang konsepnya tidak ditemukan di dalam konteks budaya Indonesia: lorong masuk yang di sisi-sisinya disediakan kursi tunggu. Pada Sidang Komisi Istilah Juni 2023, padanan dalam bahasa Indonesia diserap dari istilah aslinya: foyer.

Kita punya masyarakat adat yang dijadikan padanan untuk indigenous people. Kita tidak menggunakan penduduk lokal atau penduduk asli. Kita punya alun-alun yang bisa dipakai untuk padanan a large public square. Kita punya bandara sebagai padanan airport, alih-alih menggunakan pelabuhan udara sebagai terjemahan literalnya.

Kita juga punya peladen sebagai padanan dari server. Peladen diambil dari bahasa Jawa, yang artinya pelayan, yang cocok juga digunakan sebagai sinonim dari pramusaji. Ada juga peramban sebagai padanan browser. Peramban juga dari bahasa Jawa, ramban, kegiatan memilih sayur di kebun untuk dipetik. Ada pula gawai yang dipakai sebagai padanan gadget. Gawai juga dari bahasa Jawa yang artinya kerja dan perabot. Di Kalimantan, gawai artinya hajatan.

Jauh ke zaman perang kemerdekaan, kita juga punya pelopor sebagai --hasil serapan dari bahasa Belanda-- padanan dari voorlopper. Lalu Belanda membelandakan pelopor dengan ejaan plopper, yang sama sekali berlawanan makna dengan voorlopper. Pelopor kita maknai sebagai perintis, oleh Belanda dipadankan menjadi plopper yang maknanya pengacau. []

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image