'Indonesia' dan 'Merdeka', Kata Perlawanan yang Sebelumnya Diperhalus Lewat Kata 'Mandiri'
Selama menjalani masa pembuangan di Belanda karena tulisan “Seandainya Aku Orang Belanda” di Express (1912), Soewardi Soerjoningrat bergabung dalam De Vrije Gedachte (Pikiran Bebas). Anggota organisasi ini adalah mahasiswa Hindia-Belanda, mahasiswa Indo-Cina, dan mahasiswa Belanda yang menyiapkan diri untuk bekerja di Hindia-Belanda.
Oohya! Baca juga ya:
Pada 1921 Ada Usulan Amendemen UUD untuk Ganti Hindia-Belanda dengan Indonesia
Indonesia Lebih Nendang daripada Nusantara
Pada November 1917, ia bersama Dr Jap, Dr Laboor, dan GSSJ Ratulangi bersepakat mengubah nama De Vrije Gedachte menjadi Indonesisch Verbond van Studenten (Perhimpunan Pelajar Indonesia). Konsep 'Indonesia', menurut Petrus Blumberger, menjadi dasar sosial untuk kerja sama mempromosikan pengetahuan tentang Hindia-Belanda di antara para siswa yang tertarik, tanpa melihat asal negaranya.
Pada 1917 itu, aktivis pergerakan dari Hindia-Belanda, mengenal kata Indonesia dari Van Vollenhoven. Mahasiswa dari Hindia-Belanda yang tergabung di Indische Vereeniging di Belanda kemudian juga mengubah nama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) kemudian diganti menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) pada 1922.
Pada 1924, majalah yang diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia, Hindia Putra, diganti menjadi Indonesia Merdeka. Mereka menerjemahkan ke bahasa Belanda menjadi Indonesie Vrij.
Menggunakan kata vrij sejak 1924, tak serta-merta mereka lakukan dengan leluasa. Pada 1928, Hatta --yang pernah menjadi ketua Perhimpunan Indonesia-- masih menggunakan istilah onafhankelijk. Meski yang dimaksudkan dari kata ini adalah juga merdeka, bebas dari ikatan Belanda, tapi Belanda tetap akan memaknai onafhankelijk sebagai merdeka tapi tetap dalam ikatan dengan Belanda.
Dalam pembelaannya di pengadilan Belanda pada 1928 itu, Hatta memberi judul pledoinya “Indonesie Vrij”. Pada September, Hatta bersama tiga mahasiswa lainnya (Abdoel Madjid Djojoadiningrat, R Ali Sastroamidjojo, dan Moh Nazir Datok Pamontjak) ditangkap di Belanda. Kata Hatta di pledoinya:
Bij een krachtdadig streven naar onmid dellijke onafhankelijkheid grijpt een onderdrukt volk naar alle middelen, die het ter verwezenlijking van zijn onafhankelijk bestaan ten dienste staan en het nuttig lijken. (Untuk mendapatkan kemerdekaan dengan segera, orang-orang yang tertindas menggunakan segala cara yang mereka miliki untuk mewujudkan keberadaannya yang merdeka dan tampak berguna).
Sebelumnya, Hatta menggunakan kata “vrijheid” secara tegas untuk maksud memisahkan Indonesia dari Belanda:
Maar wat ons, fijngevoelige Indonesiers, thans betreft, voor ons bestaat geen twijfel over de toekomst van ons lieflijk Vaderland. Voor zijn vrijheid willen wij alles en ons zelf opofferen. Wij zouden Indonesie liever zien wegzinken tot aan den bodem der zee dan het te hebben als een eeuwig aanhangsel van eenige andere vreemde natie. Ziedaar kort en bondig onze belijdenis van het patriottisme. (Tetapi bagi kami orang Indonesia yang berperasaan halus, kami tidak ragu tentang masa depan Tanah Air kami yang indah. Untuk kemerdekaannya kami ingin mengorbankan segalanya dan diri kami sendiri. Kami lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar laut daripada memilikinya sebagai pelengkap abadi dari negara asing lainnya. Itulah pengakuan patriotisme kami yang ringkas).
Salah satu tulisan di majalah Indonesia Merdeka yang membuat Hatta dan kawan-kawan diajukan ke pengadilan adalah artikel berjudul “Vaderlandsche Kroniek” (Kronik Tanah Air). Di artikel ini, seperti yang juga ditulis dalam putusan Pengadilan Den Haag, 22 Maret 1928, ditegaskan bahwa “rakyat Indonesia ingin melepaskan diri dari ‘perwalian’ yang dikenakan kepadanya oleh Belanda selama berabad-abad”.
Pada 1926, Kongres Pemuda Indonesia Pertama --yang secara politik dilarang oleh Belanda-- masih menggunakan kata zelfstandig. Selama kongres, bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda, dengan tujuan untuk memudahkan polisi Belanda mengikuti acara sehingga bisa memastikan tak ada pembicaraan yang berbahaya. Maka, “menjadikan Indonesia merdeka”, dibelandakan menjadi het zelfstandig maken van Indonesie.
Praktis istilah vrij baru masif digunakan pada 1930-an. Sukarno juga baru menggunakan vrij pada 1933, ketika mengeluarkan brosur “Mencapai Indonesia Merdeka”, yang dibelandakan menjadi “Het Streven naar Een Vrij Indonesie”.
Buku 30 Jaar Perhimpunan Indonesia menggunakan istilah vrijmaking untuk menggambarkan keinginan kemerdekaan Indonesia yang terbebas dari supremasi Belanda. Het gemeenschappelijke doel de vrijmaking van Indonesia eist de totstandkoming vaneen zelfbewuste, op eigen kracht steunende nationalistische massaactie (Tujuan bersama pembebasan Indonesia menuntut adanya kesadaran melakukan aksi massa nasional dengan kekuatan sendiri).
Kata “Indonesia” menjadi kata perlawanan sejak awal 1920-an. Pada Dekade 1910-an, kata perlawanan yang dipakai adalah kata “zelfstandig/zelfstaandigheid” atau “onafhankelijk/ onafhankelijkheid” yang artinya “mandiri/kemandirian”.
Onafhankelijk juga bermakna “merdeka”, tapi sering dipakai tidak dalam pengertian “membebaskan diri” atau “memisahkan diri” seperti halnya “vrij”, bebas --yang oleh nasionalis Indonesia dimaknai “memisahkan diri”. “Zelfstandig/onafhankelijk” dipakai Belanda merujuk pada tetap adanya ikatan Indonesia dengan Belanda. Tapi para nasionalis Indonesia menginginkan bebas dari ikatan Belanda. Memisahkan diri dari Kerajaan Belanda.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie karya Petrus Blumberger (1931).
‘Indonesia’ dan ‘Orang-Orang Indonesia’ karya Akira Nagazumi, dalam Indonesia, Masalah dan Peristiwa (1976).
Verslag van het Eerste Indonesisch Jeugdcongres Gehouden te Weltevreden van 30 April tot 2 Mei 1926 (1926).
30 Jaar Perhimpunan Indonesia (1938).