Perampok dari Gabus-Grobogan, Pemberontakan Raden Ronggo, Kesaksian Diponegoro, dan Daendels Marah
Pada 10 September 1810, sekelompok warga dari Gabus di wilayah Grobogan menyerang orang Cina yang mendapat tugas memungut pajak petani di Demak. Dari orang Cina itu, diambil opium, uang tunai, dan perhiasan. Nilainya 10 ribu dolar Spanyol. Menurut Peter Carey, sekitar 1 juta dolar Amerika Serikat untuk ukran sekarang.
Oohya! Baca juga ya: Setelah Menginjak Biji Kopi di Batavia, Tentara Inggris Seret Sultan Yogyakarta di Depan Diponegoro
Sekawanan penyerang itu diduga pelarian dari pasukan garnisun Semarang. Sri Sultan Hamengbuwuno II dan Raden Ronggo tidak menghukum mereka. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Daendels marah karenanya. Ia meminta Yogyakarta segera mengembalikan hasil rampasan itu, jika tidak Yogyakarta akan diserbu Belanda.
Yogyakarat memgirim Komisi Penyelidik ke Grobogan. Menunggu hasil penyelidikan itu, Sri Sultan berupaya menunda-nunda permintaan Daendels seraya menyindir Daendels yang akan malu jika mengirim pasukan ke Yogyakarta hanya gara-gara perkara penyerangan terhadap petugas pengumpul pajak.
Sebelum peristiwa penyerangan petugas pajak ini, kriminal-kriminal kecil juga sudah muncul di wilayah perbatasan timur yang menjadi wilayah Belanda. Belanda resah karenanya. Bupati-Wedana Madiun, Raden Ronggo, dituding berada di balik aksi-aksi kriminal-kriminal itu. Ketika terjadi serangan lintas batas di Ponorogo pada akhir Januari 1810, Raja Surakarta melapor ke Daendels, menyebut Raden Ronggo sebagai sosok di balik peristiwa itu.
Sri Sultan menolak permintaan Daendels untuk menghukum Raden Ronggo. Setelah mendengarkan penjelasan dari Raden Ronggo, Sri Sultan mengambil kesimpulan Raden Ronggo tidak bersalah.
Selalu dijadikan kambing hitam, Raden Ronggo merancang sesuatu. Ia membawa 300 prajurit ke Madiun dan menetapkan target komunitas Cina di Lasem, Tuban, Sidayu, seagai mitra. Ronggo telah menjalin komunikasi baik dengan komunitas-komunitas Cina itu yang juga merasa resah terhadap perekonomian lokal akibat kebijakan Belanda. Raden Ronggio menuntut, gar Belanda menyerahkan kembali wilayah pesisir itu kepada masyarakat Jawa. Hal yang juga diinginkan oleh banyak kalangan di Keraton Yogyakarta.
Daendels pun menurunkan 3.000 infanteri ke Semarang untuk membatasi gerak Raden Ronggo. Raden Ronggo terus diburu. Pada 17 Desember 1810 Raden Ronggo dan wakilnya, Sumonegoro, dibunuh Belanda.
Daendels meminta ganti rugi ke Yogyakarta. Selama berkuasa selama 16 tahun, Sri Sultan telah mengumpulkan harta kekayaan Keraton Yogyakarta mencapai 1 juta dolar Spanyol. Menurut Peter Carey, jika dikurs ke dolar Amerika, mencapai 300 juta dolar Amerika Serikat. Tetapi hanya dalam kurun empat tahun, yaitu 1808-1812, kekayaan itu diambil oleh pemerintahan Daendels dan dilanjutkan oleh pemerintahan Raffles.
Penjarahan harta Keraton Yogyakarta itu dianggap sebagai ganti rugi untuk meredam pemberontakan Raden Ronggo terhadap Belanda pada 1809-1810. Sultan Hamengkubuwono II dianggap tidak mencegah pemberontakan Raden Ronggo itu.
Daendels pertama kali mengunjungi Yogyakarta secara resmi pada 29 Juli 1809. Diponegoro sebagai prajurit Kadipaten, bersama adiknya bertugas menyambut Daendels. Daendels datang bersama kekuatan militernya.
Beberapa pembicaraan dilakukan secara bergantian, di Keraton dan di rumah Residen Yogyakarta, membahas perdagangan hasil bumi. Dalam berbagai pertemuan itu, Yogyakarta tak bisa menjalankan protokol Keraton agar Sri Sultan duduk lebih tinggi dari Daendels. Alhasil, Diponegoro mencatat, banyak pembicaraan tetapi tidak ada hasil.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Babad Dipanegara karya Pangeran Diponegoro
Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey