'Ngopi Dulu', Penulis Inggris Sebut Kopi adalah Penyeimbang yang Hebat
Kami menginap di rumah Sekretaris Desa Mapahi, Musa M Pasa. Setelah menahan khawatir selama perjalanan naik ojek menyusuri jalan setapak di sisi jurang, tiba juga di Mapahi, Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Masuk rumah Sekretaris Desa langsung disuguhi kopi. “Silakan, kopinya dulu, sebelum nanti kita ngobrol,” kata Sekretaris Desa.
Sore itu, Desember 2016, udara belum terasa begitu dingin di Mapahi. Kopi jahe hangat sore itu meredakan perasaan waswas selama perjalanan. Mereka memanen kopi dari kebun mereka sendiri.
Esok pagi, hidangan pertama setelah bangun tidur juga kopi. Dingin udara Mapahi terhangatkan oleh segelas kopi jahe. Sajian yang juga dihidangkan kemarin sore. Di Sulawesi Tengah, masyarakat biasa ngopi dengan kopi jahe. Ketika menyangrai biji kopi, mereka mencampurnya dengan rimpang jahe.
Sewaktu mengunjungi Kaimana dan Fakfak di Tanah Papua pada Desember 2019, ketika saya asyik menikmati kopi, masyarakat yang menyambut kami asyik dengan pinang sirih. Kami datang memang membawa pinang sirih untuk pembuka komunikasi, tapi saya belum terbiasa dengan pinang sirih. Warga Kampung Kambala di Kabupaten Kaimana dan warga Kampung Pahger Nkendik, Kabupaten Fakfak, memilih pinang sirih, bukan berarti mereka tak menyediakan kopi. Sebagai tuan rumah, mereka selalu menyediakan kopi kepada para tamunya.
“Kopi, bahkan lebih dari pinang, adalah penyeimbang yang hebat --baik ketika berada di pasar atau menetap di desa yang hanya dikunjungi sedikit pengunjung. Kopi mengaburkan batas budaya. Lihat, kata orang-orang, bule juga minum kopi. Ternyata dia juga manusia,” tulis Mark Eveleigh, penulis Inggris di buku Kopi Dulu (Penguin Books, 2022). Ketika menghadapi suasana yang tak sesuai harapan dan tak bisa berbuat sesuatu, Mark yang berkeliling Indonesia, selalu mengandalkan mantra kesukaannya: kopi dulu.
Pada November 2014, ketika hendak pulang ke Jakarta esok hari, tiba di Jayapura mencoba mencari kopi Wamena sebagai oleh-oleh. Setelah makan malam, kami menerobos gerimis, mencari alamat Kafe Prima Garden, yang menurut informasi yang kami dapat, menjual kopi Wamena. Niatnya hanya membeli kopi untuk oleh-oleh. Ternyata kafe ini sudah tidak lagi menjual kopi biji maupun bubuk. Mengatasi rasa kecewa dan menunggu gerimis reda, kami memilih “ngopi dulu”.
Saya pun mengunggah foto-fotonya di media sosial pada 11 November 2014, dengan keterangan:
Ngopi dulu. Niatnya nyari kopi Wamena buat oleh-oleh di tengah gerimis yang mengguyur Jayapura. Nari warung kopi ini sampai nyasar salah jurusan angkot (padahal, jalan kaki dari hotel dekat banget). Eh, sampai lokasi, dibilang sudah gak jualan yang bungkusan. Adanya minum di tempat.
Priyantono Oemar