Jalan ke Baduy. Tak Ada Listrik, Totok pun Jadi
Senja tiba, tak ada penerangan listrik di kampung Baduy Dalam, Cibeo. "Kalau mau pup atau pipis harus ke sungai gelap-gelapan kayak gue," kata Agrilia Finsa Ivanka (21 tahun), anggota Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB).
Agrilia beserta rombongan dari Bandung, terdiri dari 47 orang, mengunjungi Baduy pada Jumat-Ahad (26-28/5/2023). Rombongan terdiri dari anggota Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB), komunitas Merdeka Hiking Club (MHC), mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, dan relawan Posko Jenggala, Jakarta.
Dini hari, sekitar pukul 03.00 WIB, ada suara orang jatuh terpeleset di samping rumah Sadim, tempat kami menginap. Rupanya dalam gelap ia bangun malam karena kebelet buang air.
Ketika sore beranjak senja, Sarnia --anak-menantu Sadim-- menyalakan dua totok. Totok adalah sebutan lampu tradisional Baduy, terbuat dari bambu. Wadah minyaknya bukan lagi batok kelapa, melainkan mangkuk porselin, sehingga tidak terbakar oleh nyala api di sumbu yang disampirkan di tepian mangkuk. Minyak yang dipakai bisa minyak kelapa, bisa juga minyak sayur.
"Kalau kurang terang, bisa gunakan senter," kata Sarnia kepada kami. Penggunaan senter pantang bagi mereka, tetapi pengunjung diperbolehkan menggunakannya. Maka untuk keperluan ke sungai bisa menggunakan penerangan senter atau lampu ponsel.
Menjelang tidur, api di totok dimatikan. "Takut kebakaran ketika kami pada tidur," kata Sarnia. Rumah warga Baduy tentu rentan kebakaran, karena berdinding anyaman bambu dan beratap daun palem yang bertahan hingga empat tahun.
Priyantono Oemar