25 Tahun Reformasi, Nasi Bungkus 1998, Mahasiswa Bukan Pasukan Kaleng-kaleng
"Makanan berlebih terus," kata Irfan Budiman, mantan aktivis Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), Ahad (21/5/2021). Ia sedang menggambarkan pasokan nasi bungkus untuk para mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR, Senayan, Mei 1998.
Mulai 18 Mei 1998, mahasiswa bisa masuk kompleks Senayan. FKSMJ yang pertama mendapat izin masuk pukul 11.30. Lalu ada Forkot dan juga mahasiswa lainnya. Mereka mendesak MPR agar melakukan sidang istimewa. Setelah mendapat jawaban MPR akan bersidang istimewa, para mahasiswa pulang, termasuk yang dari Forkot. Tapi FKSMJ memilih tetap tidak keluar dari Senayan. Ada sekitar 50 orang.
Tapi bukan persoalan mudah untuk memberanikan diri menginap di Senayan Perasaan waswas menyelimuti mereka, takut tiba-tiba ada aparat datang menciduk mereka. bahkan muncul isu ada ormas kepemudaan akan menggeruduk mereka. Komunikasi dengan rekan-rekan di luar Senayan belum mampu membunuh perasaan waswas itu. Maka, mereka pun mengadu ke Yang Mahakuasa lewat shalat malam.
Esok paginya, memang ada ormas yang datang. Tetapi bukan untuk bentrok dengan mahasiswa, melainkan menjaga mahasiswa. Forkot yang datang lagi esok hari marah kepada FKSMJ karena menginap tidak mengajak Forkot.
Gelombang mahasiswa pada 19 Mei semakin banyak dan menginap pada malam harinya. Di hari inilah pasokan nasi bungkus mengalir ke Senayan dari berbagai pihak. Di antaranya dari Rumah Jenggala, kediaman pengusaha minyak Arifin Panigoro, dan dari Suara Ibu Peduli, perkumpulan aktivis perempuan dari berbagai lembaga. Irfan mendapat tugas mengambil nasi bungkus dati Rumah Jenggala.
Suara Ibu Peduli mencatat, nasi bungkus yang mereka pasok dari 19-23 mencapai 70 ribu bungkus lebih. Rumah Jenggala tak ada catatan, tetapi Arifin Panigoro sempat memborong makanan di Blok S, karena dapur umum di Rumah Jenggala kehabisan bahan makanan untuk dimasak.
Mereka yang memperjuangkan demokrasi lantas mendukung gerakan mahasiswa dengan memasok nasi bungkus. Itu menandakan, mahasiswa bergerak menutut reformasi, bukan karena disediakan nasi bungkus. Mereka bergerak sebelum ada nasi bungkus.Tak ada nasi bungkus pun mereka bergerak menuntut Soeharto turun. Mahasiswa bukan pasukan kaleng-kaleng, yang baru bergerak jika ada nasi bungkus. Gerakan mereka terbalaskan. Pada 21 Mei 1998, pukul 10.00, Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden.
Para mahasiswa pun bersorak penuh suka cita dan menyantap nasi bungkus yang disiapkan untuk mereka pagi hari. Kamis siang, setelah pengumuman Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden, para aktivis senior di Jenggala bertandang ke Senayan. Mereka ingin merayakan tumbangnya Orde Baru itu bersama para mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR.
Suka cita itu masih terlihat ketika rombongan Jenggala tiba. Di antara mereka ada yang sedang makan, dan rombongan Jenggala pun ditawari makan –nasi bungkus yang pagi harinya salah satunya disiapkan di dapur umum Rumah Jenggala.
Priyantono Oemar