Debt Collector, Dulu Ada Larangan Masuk Bagi Lintah Darat yang Membuat Orang Cina Marah
Spanduk larangan untuk penagih utang (debt collector) masuk wilayah RW 1 di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, ternyata juag ditujukan untuk bank keliling. Bank keliling ini yang di zaman penjajahan Belanda dulu dikenal sebagai mindering. Yaitu praktik memberikan utang dengan bunga yang mencekik. Sekarang dikenal sebagai rentenir. Pernah juga disebut sebagai lintah darat.
Oohya! Baca juga ya: Debt Collector, Larangan Masuk untuk Penagih Utang Dipasang di Pintu Gang
Praktik mindering juga dilakukan dengan cara menawarkan barang, dibeli dengan cara dicicil. Pada 1939, praktik mindering di Blitar tercatat memakai bunga 250 persen. Pelaku mindering pada masa itu adalah orang Cina dan Arab. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat kata “mindring” dalam arti “menjual barang dengan pembayaran mengangsur”.
Gara-gara praktik mindering itu, ada juga larangan masuk yang ditujukan kepada singkek-singkek yang menjalankan praktik mindering. Koran Pelita Tionghoa pada 21 Januari 1939 membahas larangan masuk yang ada di Desa Klepon, Blitar.
Bunyi larangan tertulis itu: Tjina en Singkek tida boleh masoek di kampoeng perceel Klepon. Peringatan tertulis itu dipasang di dekat Garum, jalan menuju perkebunan milik HVA. Singkek sebutan untuk orang-orang Cina yang lahir di Cina dan datang di Hindia Belanda. Di Klepon beroperasi perusahaan perkebunan Handelsvereniging Amsterdam (HVA).
De Locomotief pada edisi 25 Januari 1939 memberitakan, orang-orang Cina melayangkan protesnya ke administrator HVA di Klepon dan ke kantor HVA Surabaya. Mereka meminta peringatan tertulis itu dicabut dan jika tak dipenuhi mereka akan melaporkannya ke kejaksaan.
Algemeen Handelsblad, De Koerier, De Locomotief, De Sumatra Post, Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, Indische Courant, dan Soerabaijasch Handelsblad, juga melaporkan kasus itu. Koran De Tijd di Amsterdam juga menurunkan laporannya mengenai hal itu pada September 1939.
Han Tiauw Tjong sebagai anggota Volksraad membawa kasus ini ke Volksraad pada 30 Januari 1939. Penolakan akses itu, menurut Han Tiauw Tjong, bisa menyinggung kelompok itu. Ia pun meminta pemerintah bertindak.
Locomotief menduga peringatan itu sudah dipasang beberapa tahun sebelumnya. Tujuannya untuk melindungi kuli perkebunan dari praktik lintah darat (woeker) yang bisa merugikan mereka. Yang menjalankan kegiatan ini orang-orang Cina dan singkek. Ada sebutan “singkek mindering”, yaitu sebutan untuk orang-orang Cina yang menjual barang dengan sistem cicil dan pemberian pinjaman dengan bunga tinggi.
Menurut De Tijd, peringatan sudah dipasang pada 1928. Ini berawal dari banyaknya praktik ceti yang merugikan petani. Ceti juga sebutan yang ditujukan kepada orang-orang Cina yang masuk ke desa-desa memberikan pinjaman kepada para petani untuk modal tanam. Istilahnya beli di muka alias ijon. Petani tak akan mampu menutupi jumlah pinjaman itu berikut bunganya dari hasil panennya.
Menurut Twang Peck Yang di buku Elite Bisnis Cina di Indonesia, para ceti ini mengenakan bunga pinjaman yang cukup tinggi. Jumlah penduduk Jawa pada 1930 ada 41,7 juta jiwa. Penduduk etnis Cina sudah mencapai 582 ribu, jauh melampaui jumlah penduduk Eropa di Jawa yang hanya 192 ribuan.Pada 1930, seperti ditulis Twang Peck Yang, ada 5.336 (sebanyak 4.342 asli Cina) di Jawa. Di luar Jawa tercatat ada 347 ceti.
Karenanya, para petani kuli perkebunan perlu dilindungi. Dipasanglah peringatan Cina dan Singkek dilarang masuk itu. Pada saat itu warga Klepon telah mendapat pembagian tanah persil dari HVA untuk mereka garap. Jika ada gangguan orang-orang Cina dan Singkek yang berpraktik sebagai ceti, mereka tak akan dapat manfaat penuh dari tanah mereka. Larangan itu hanya untuk orang-orang ini.
“Karena gangguan hanya dari orang-orang Cina pemberi pinjaman, larangan hanya ditujukan pada orang-orang ini. Itu tidak ditujukan kepada kelompok populasi tertentu,” tulis Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie.
Tapi, orang Cina telanjur marah. Menganggap pelarangan itu untuk seluruh komunitas Cina. “Kalimat pada peringatan itu kurang tepat pemilihan kata-katanya, sehingga terlihat seperti ditujukan ke orang-orang Cina, sementara pemberi pinjaman dari suku lain diberi akses masuk ke persil,’’ tulis Locomotief.
Priyantono Oemar