Mata Elang Sidang Komisi Istilah (SKI) I 2023
Oleh Azhari Dasman Darnis
Entah karena salah kirim saja atau memang CLBK (cerita lama berulang kembali) peringatan tentang penagih utang sampai lagi ke ponsel saya. Yang menarik pada pesan itu ada nama lain profesi pengepul utang itu: mata elang. Saya menduga nama itu berasal dari kejelian mereka mencari kendaraan tertunggak dari ribuan yang melintas ulang-alik saban waktu.
Ketajaman mata, kegesitan, cengkeraman yang kokoh dan kesekonyong-konyongan menyempurnakan insting si elang. Karakteristik elang yang invansif, predatoris, dan proaktif itu konon mirip dengan perilaku sebagian politisi, partai, bahkan negara sehingga sejak lama nama predator udara itu telah mengisi perbendaharaan istilah dunia politik di negara berbahasa Inggris.
The New York Times awal tahun lalu menurunkan tulisan opini berjudul "Hawks are standing in the way of a new republican party". Menariknya, dalam artikel itu sudah ada istilah bentukan bahkan derivasinya: "hawkish ideology", "hawkish temptation", "foreign policy hawks", dan "hawkishness". Siapa tahu tak lama lagi akan menetas "hawkishism", paham tentang perilaku mirip hewan ganas itu.
Rupanya tidak hanya elang, merpati (doves) juga telah lama dipinjam sebagai metafora menyaingi si pemangsa angkasa. Kalau elang dipakai untuk menggambarkan politisi atau akademisi yang mendukung peperangan dan militerisme, maka merpati sebaliknya. Merpati digunakan sebagai metafora untuk individu yang selalu memilih cara-cara damai dalam penyelesaian pertikaian (Brool, 2022: 238).
Adapun "dove" belum sederas kompatriotnya. Satu artikel dari Oxpol (the Oxford University Politics Blog) berjudul "Hawk, Dove, Eagle, or Headless Chicken? US Foreign Policy under Trump", misalnya, baru melahirkan satu bentukan kata: "liberal doves". Tidak berbeda dari sumber data tulis yang digunakan kamus Oxford sebagai dasar kodifikasi kedua kata itu.
Oxford English Dictionary mengumpulkan data penggunaan kedua kata itu dan telah merekam makna figuratif keduanya sejak tahun 1960. Kamus British itu memberi definisi "hawk" sebagai 'orang yang menganjurkan kebijakan garis keras atau kebijakan yang suka berperang' dan "dove" sebagai 'orang yang menganjurkan negosiasi untuk mengakhiri atau mencegah konflik militer'. Keduanya dalam ranah politik. Kata pertama berasal dari sumber tertulis sejak tahun 1548, sedangkan yang terakhir lebih belia, berasal dari artikel berajah 1962.
Kamus Merriam-Webster juga telah menginventarisasi kedua kata, tetapi dengan nada yang lebih umum. Tidak ada label penanda apa-apa yang dibubuhkan. "Hawk" menurut Webster adalah 'seseorang yang militan atau agresif (seperti dalam sebuah perselisihan) dan menganjurkan tindakan segera yang keras', sedangkan "dove" bermakna 'seseorang yang mengambil sikap mendamaikan dan mendukung negosiasi dan kompromi'. Namun, Webster tidak mencantumkan sumber datanya.
Kamis lalu (11/5/2023) Komisi Diplomasi Pertahanan Sidang Komisi Istilah (SKI) kebetulan membahas duo terminologi unik dan menantang ini. Unik karena metaforis dan menantang disebabkan proses pengindonesiaannya yang tidak bisa serta merta. Ada berbagai tantangan dan pertimbangan saat memindahkan konsep tersebut ke dalam cangkang bahasa Indonesia. Mulai dari pertimbangan apakah akan diterjemahkan saja atau tetap dipadankan, atau hibrida dengan menggabungkan kedua cara.
Selain pasangan kata itu, banyak sekali istilah unik yang dibahas, yang membuat para narasumber dan penasihat bahasa harus membuka-buka kembali berbagai rujukan. Bukan saja untuk mencari berbagai sumber istilah asing tetapi juga jodoh padanan atau terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Ambil contoh kata "eyeball to eyeball" yang dalam definisi maknanya "mutual brinkmanship", sama-sama nekat. Konteks yang digunakan adalah Krisis Misil Kuba tahun 1962, saat Uni Soviet dan US kembali ke keadaan "eyeball to eyeball".
Secara terjemahan mungkin bisa digunakan "saling melotot" atau "saling mendelik" seperti petinju yang mau berlaga yang dimulai dengan saling tatap bola mata sampai jarak dekat sekali. Namun terjemahan Indonesia itu tidak mengimajinasi sebagaimana definisi asalnya. Saling mendelik atau melotot dalam konteks Indonesia tidak selalu berujung pada bakutarung. Contoh mudahnya para pengguna jalan, saling melotot tapi jarang sekali berujung adu fisik.
Dalam pemilihan istilah yang akan dipadankan tidak selalu mudah, justru di sanalah asyiknya. Ada beberapa istilah yang defisinya sama, misalnya tentang konsep garis batas antarnegara berkonflik. Antara Israel dan Libabon garis demarkasi itu dinamai "blue line", karena penjaganya berseragam biru PBB. Tembok Berlin yang memisahkan Timur dan Barat di Jerman dulu dijuluki "Brendt line", merujuk pada inisiatornya. Garis pembatas duo Korea disebut DMZ singkatan dari "demiliterization zone".
Kebalikan dari itu, ada juga istilah yang konsepnya hampir sama, sehingga padanan Indonesianya juga harus demikian, seperti "envoy", "ambassador", "emissary", dan "messenger".
Dalam mencarikan padanan Indonesia para narasumber juga bertungkus lumus membolak-balik kumpulan perbendaharaan Indonesia atau daerah yang sesuai. Mereka sadar bahwa padanan Indonesia tidak hanya bertugas mengusung konsep tetapi juga menggambarkan bahasa Indonesia yang praktis dan mengimajinasi. Usaha ini terlihat dari "pungkasan" dan "titik kuldesak" yang dijodohkan dengan istilah Inggris "endgame" dan "sticking point".
Beberapa contoh di atas tentu saja tidak hanya dinikmati oleh Komisi Bidang Ilmu Pertahanan Subbidang Diplomasi Pertahanan yang diketuai oleh Mayjen (Purn.) Dr I Gede Sumerta KY PSC MSc, dengan anggota Laksma (Purn.) Dr Ir Beni Rudiawan SE MM MSi (Han.), dan Kolonel Caj (Purn) Dr Surryanto Djoko Waluyo MH MM dari Universitas Pertahanan serta Azhari Dasman Darnis, Fani Kusumawardani, dan Raymond Allan dari Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra. Keasyikan itu pasti dialami oleh semua komisi yang bersidang waktu itu.
Sebagai penutup, pekerjaan pengindonesiaan istilah asing ternyata perjalanan wisata. Wisata mengarungi kekayaan ilmu melalui kata-kata khas dan konsep-konsep unik. Setiap diskusi bak wisata memasuki wahana baru, asyik dan memperkaya serta melenakan, sehingga beberapa kali pembahasan suatu konsep memakan waktu lebih lama. Namun semuanya tidak sia-sia karena tentu saja memperkaya konsep dan penyusunan kamus yang jadi tujuan akhir kegiatan ini.
Azhari Dasman Darnis adalah widyabasa ahli madya Badan Bahasa.
Editor: Priyantono Oemar