Lincak

Lebaran 6 Juli 1951, Menteri Agama Telah Menetapkannya pada 22 Agustus 1950

Wakil Presiden Moh Hatta (baju putih nomor tiga dari kanan) sedang menyimak khutbah Idul Fitri yang disampaikan oleh M Natsir di Lapangan Banteng, Jumat 6 Juli 1951. Menteri Agama telah menetapkan Lebaran 6 Juli 1951 pada 22 Agustus 1950.
Wakil Presiden Moh Hatta (baju putih nomor tiga dari kanan) sedang menyimak khutbah Idul Fitri yang disampaikan oleh M Natsir di Lapangan Banteng, Jumat 6 Juli 1951. Menteri Agama telah menetapkan Lebaran 6 Juli 1951 pada 22 Agustus 1950.

Pada 1949-1953, jabatan menteri agama oleh Faqih Usman, kader Muhammadiyah yang mewakili Masyumi di kabinet. Ia terpilih lai periode berikutnya. Java Bode edisi 23 Juni 1951 menulis, pada 22 Agustus 1950, Menteri Agama telah mengeluarkan keputusan penetapan Lebaran 1370 Hijriyah, yaitu 6 Juli 1951. Lebaran 1951 ini, Presiden Sukarno menghadiri Shalat Id di Lapangan Tegallega, Bandung.

Oohya! Baca juga:

Beda Lebaran Tergantung Menteri Agamanya Siapa?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Shalat Id Muhammadiyah, Beda Pemerintah Kolonial dengan Pemkot Pekalongan -Pemkot Sukabumi.

Pada Shalat Id Jumat, 6 Juli 1951 di Lapangan banteng, M Natsir juga menjadi khatib. M Natsir menjadi perdana menteri mulai September 1950 dan mengundurkan diri pada 26 April 1951. Wakil Presiden Moh Hatta ikut shalat di sini.

Ini adalah kali kedua Shalat Id kenegaraan diadakan di Jakarta setelah kemerdekaan. Pemerintah baru mengadakan acara Shalat Idul Fitri di Jakarta pada 1950, setelah balik dari Yogyakarta. Shalat Id diadakan di Lapangan Banteng pada 16 Juli 1950, diikuti oleh sekitar 20 ribu jamaah. M Natsir menjadi khatib, dan Presiden Sukarno menyampaikan pesan-pesan.

“Ini adalah hari yang sangat penting, bukan karena kehadiran saya, tetapi karena ini adalah hari yang luar biasa bagi semua Muslim di dunia,” ujar Sukarno di hadapan jamaah seperti dikutip //Indische Courant voor Nederland// edisi 22 Juli 1950.

Dalam kesempatan itu, Sukarno juga menyinggung soal perjuangan yang belum juga selesai. Konflik sering muncul menghalangi pencapaian tujuan bersama. “Saya menyesal akhir-akhir ini secara umum masyarakat Indonesia dijangkiti pandangan hidup yang penuh kontradiksi,” ujar Sukarno.

Priyantono Oemar