Mereka yang Menginginkan Muts PMB
Dalam video yang diedarkan panitia penerimaan anggota baru, ada mahasiswa yang ingin bergabung di Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB) karena ingin memiliki topi merah hitam PMB. Topi itu ia anggap keren ketika dipakai.
Topi itu disebut muts, dari bahasa Belanda yang artinya ya topi/tutup kepala. Desainnya dibuat oleh Achmad Sadili, anggota PMB angkatan 1948. Bentuknya menyerupai atap gedung Aula Barat/Timur ITB. Warnanya merah dan hitam. Merah sebagai simbol besi baja yang membara, lalu ditempa menjadi hitam solid.
Dalam video itu ada pula mahasiswa yang ingin bergabung dengan PMB karena ingin memperbanyak teman, menambah jaringan. Tapi saya yakin, ketika Slamet Bratanata bersama mahasiswa mendirikan PMB pada Maret 1948, keinginan mereka bukan karena ingin menambah teman atau menambah jaringan. Di angkatan pendiri ini ada Tjatja Hidajat, juara lomba lari 800 meter. Sebagai atlet, tentu ia sudah memiliki banyak teman dan jaringan, tanpa harus mendirikan PMB.
Pada mulanya, organisasi yang mereka dirikan diberi nama Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Bandung (PMIB). Pada masa itu, negara bagian bermunculan di mana-mana. Di Bandung, ada pula deklarasi Negara Pasundan. Pemakaian kata Mahasiswa Indonesia di dalam PMIB seperti ingin menegaskan kepada dunia bahwa negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 masih ada dan PMIB ikut memperjuangkan keberadaannya. Di muts PMB ada 17 untaian kain berwarna hitam di pucuknya, sebagai tanda tanggal proklamasi kemerdekaan.
Melihat nama awal dan masa kemunculannya, bisa dibaca betapa PMB didirikan dengan tujuan politik. Mempertahankan Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, PMB memang menjaga fleksibilitasnya. Di era 1950-an, ketika ekonomi sedang buruk PMB mengadakan pesta dansa semalam suntuk untuk menyambut kemenangan rombongan mahasiswa Bandung di Pekan Olahraga Mahasiswa di Yogyakarta. Slamet Bratanata pun segera melakukan koreksi dan mengingatkan agar PMB bisa membaca situasi untuk tidak berpesta di saat masyakarat banyak yang menderita akibat ekonomi yang buruk.
Slamet Bratana menulis surat terbuka di koran De Preangerbode edisi 12 Januari 1952. Ia menyebut mahasiswa Indonesia sebagai bunga bangsa. Salah satu kalimatnya berbunyi: “Bunga bangsa diharapkan dapat mewujudkan kegembiraan logisnya dengan cara yang lebih terkendali, agar tidak terlalu kontras dengan kesengsaraan di sekitarnya.”
Slamet Bratanata tidak sedang menolak pesta untuk meluapkan kegembiraan itu, sebab ia tahu sulit untuk menolak ekspresi kegembiraan. Tetapi karena pesta dansa ini diadakan secara terbuka (undangan yang diedarkan membuat masyarakat umum tahu), maka ada kesempatan bagi masyarakat mengawasi dan memberika dan penilaian.
Hendrowibowo, menyetujui pendapat Slamet Bratanata di Preangerbode edisi 16 Januari 1952. Tetapi, ia juga memberikan koreksi. Ia mengaku hadir di pesta dansa itu dan menyatakan pesta itu terlalu kontras dengan kondisi sosial saat itu. Tapi ia menyebut yang datang di pesta dansa hanya delapan persen dari total mahasiswa Indonesia. Itu pun tak semua hadir hingga pesta usai. Ini menandakan sebagian besar bunga bangsa sependapat dengan Slamet Bratanata.
Di era 1950-an itu, untuk membangun kepribadian bangsa, Sukarno melarang musik yang bertentangan dengan kepribadian bangsa. Maka, ketika pada Februari 1957 warga Inggris mengadakan lomba mirip bintang film Hollywood, di malam puncaknya ada pesta dansa dan musik rock n roll, 40 organisasi di Bandung pun berdemo menolak acara itu.
Seperti dilaporkan Prengerbode edisi 18 Februari 1957, demo besar terjadi pada Ahad, 17 Februari, di halaman Balaikota Bandung. Ada massa dari 40 organisasi (Pikiran Rakjat melaporkan 48 organisasi) menyampaikan tuntutan agar warga Inggris penyelenggara lomba diusir dari Indonesia sebagai orang asing yang tak diinginkan. Tuntutan lainnya agar ada teguran kepada manajemen Hotel Savoy Homann, tenpat acara dilangskungkan. Dari halaman Balaikota, 40 penanda tangan resolusi --wakil dari masing-masing organinasi—pergi menghadap Gubernur Jawa Barat Sanusi di rumah dinas. Demo di Bandung merembet ke Jakarta. Di Jakarta, film rock n roll yag sedang tayang di bioskop diturunkan.
Tak ada informasi ada-tidaknya PMB ikut dalam barisan pendemo ini. Tetapi, pada Oktober 1957, PMB merespons pesta dansa dan musik rock n roll di lomba mirip bintang film Hollywood itu. PMB juga mengadakan lomba mirip wajah bintang film. Lombanya, lomba mirip bintang film Tiga Dara, film garapan Usmar Ismail. Kegiatan ini diadakan PMB bersam Perfini dan Persit.
Ini kegiatan budaya, tetapi juga berujung kepada urusan politik. Di malam puncak acara di Hotel Savoy Homann, PMB menyajikan musik gamelan dan band perempuan. Personel bandnya adalah anggota PMB, dan membawakan lagu-lagu Indonesia. Dengan hiburan musik tradisional klasik dan musik modern ini, PMB seperti hendak menyatakan: acara bisa berlangsung meriah tanpa perlu menghadirkan musik dan tari yang berlawanan dengan adat ketimuran. Ini semacam jawaban dari kontes sebelumnya di Februari 1957 yang menampilkan dansa dan musik rock n roll yang dinilai publik tak sesuai dengan adat timur.
Preangerbode memuji PMB. “Kami sangat menghargai kerja keras para mahasiswa PMB, yang benar-benar bekerja keras dan membantu melakukan segala macam pekerjaan kecil yang sangat diperlukan untuk sebuah organisasi yang baik,’’ tulis Preangerbode, 8 Oktober 1957.
Penampilan band perempuan PMB juga dipuji. “Kami ingin menyinggung satu hal unik dari dunia pelajar Indonesia yaitu band wanita PMB yang tampil di depan publik untuk pertama kalinya kemarin. Para remaja putri itu pada awalnya terlihat sedikit pemalu, mungkin sedikit demam panggung, tetapi kami yakin jika mereka tampil untuk kedua kalinya dan berlatih secara rutin, Bandung akan mempunyai band wanita populer,’’ tulis Preangerbode. “Yang mereka capai tadi malam menjanjikan banyak hal bagi musik amatir Bandung.”
Di era 1960-an, politik Indonesia sedang gonjang-ganjing karena isu komunisme. PMB sebenarnya bukan organisasi politik, melainkan hanya organisasi rekreasi. Tetapi, situasi zaman menuntut keterlibatan PMB. Di Jakarta di masa pemerintahan Hindia Belanda, para mahasiswa memiliki gedung rekreasi, tempat berkumpul sambil menikmati kopi dan membahas perkembangan politik. Gedung rekreasi pertama sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda, gedung kedua kedua sekarang menjadi Museum Joang 45.
PMB mengadakan kegiatan rekreatif dengan menyewa gedung. Kegiatannya diberi nama Kroeg PMB. Kroeg merupakan kata Belanda, artinya pub/kelab/bar/kafe. Tuntutan zaman mendorong PMB harus melawan komunisme. Karena itu anggota PMB yang peduli politik memprovokasi anggota PMB bahwa jika PKI berkuasa, maka tidak bisa berdansa-dansa lagi.
Selama bimbingan pun, anggota muda PMB mendapatkan materi yang aneh-aneh dan misterius selain materi ideologi dan kepemimpinan. Sarwono Kusumaatmadja yang masuk PMB pada 1963. Ia harus menjadi masa perploncoan, mengenakan dop (topi) berwarna hijau. Hijau artinya muda, daun pucuk. Plonco adalah bahasa Jawa untuk menyebut buah semangka muda. Dalam bahasa Belanda, perploncoan disebut ontgroening. Groen artinya juga hijau. Hijau artinya belum memiliki pengalaman. Meski di kampus sudah memiliki pengalaman mengadakan berbagai kegiatan, begitu masuk PMB tetap akan dianggap sebagai hijau.
Saat itu di PMB antara lain ada Muslimin Nasution, Fred Hehuwat, Rudianto Ramelan, Rahman Tolleng, Deddy Krisna, yang akan menjadi senior Sarwono. Muslimin menjadi mentor dia. Selama menjadi anggota muda, seperti yang ia ceritakan di buku Menapak Koridor Tengah (2018), ia mengaku mendapat pelatihan cara mencuri dokumen, cara membuat selebaran gelap, teknik penggalangan massa, perang urat saraf.
Memasuki era 1970-an, isu politik mereda, dan PMB mengadakan pentas seni Kasidah Barzanji-nya Rendra. Pada 1995, Rendra kembali diundang PMB untuk pentas baca puisi bersama antara Sutardji Calzoum Bachri dan Jos Rizal Manua. Pada paruh pertama era 1990-an ini isu politik juga belum meninggi kendati demonstrasi mahasiswa sering terjadi. Soeharto masih represif.
Kendati di pentas sebelumnya di Surabaya, Rendra tidak dilarang tampil, tetapi di acara PMB Rendra mengalami pelarangan. Yang dilarang memang bukan Rendranya. Rendra boleh tampil, tapi tidak boleh membawakan empat puisi yang akan ia bacakan. Ini kegiatan budaya, tetapi juga berujung pada urusan politik. Rendra memutuskan tidak mau tampil jika ada puisi yang dilarang untuk dibacakan. PMB mau tidak mau harus menghadapi hal itu. Sehingga pelarangan ini bergema di tebing demokrasi Indonesia.
Pada 1990-an ini, situasi politik juga menuntut PMB terlibat dalam avokasi mahasiswa. Demo-demo mahasiswa di Bandung pada 1998, hanya dibolehkan di dalam kampus. Maka Sekretariat PMB dijadikan sekretariat Advokasi Mahasiswa Bandung. Kasus-kasus yang muncul di kampus dibahas oleh tim advokasi yang terdiri dari perwakilan organisasi mahasiswa kampus. Hingga akhirnya, demo pun bisa dilakukan di luar kampus.
Sebelumnya, PMB hanya bisa mengadakan beberapa kali Pentas Seni Setengah Jadi di sekretariat, dengan menutup sebagian Jalan Merdeka, yang melibatkan seniman-seniman Bandung. Harry Roesli yang membawa Franky Sahilatua juga tampil di Pentas Musik Setengah Jadi. Isi lagu-lagunya mengenai kritik sosial/politik. Ini kegiatan budaya, tetapi juga menyinggung urusan politik.
Selain itu, PMB juga melibatkan diri dalam aksi sosial membantu rakyat miskin yang terdampak krisis ekonomi, seperti mengadakan lomba balap becak dan lomba menulis surat kepada presiden untuk tukang becak dan pemulung. Selain hadiah untuk para juara, setiap peserta juga mendapat paket sembako.
Priyantono Oemar
Sumber: Materi acara perdana Panitia Pembimbing Anggota 2023 PMB, Sabtu (4/2/2023).