Benarkah Bahasa Indonesia Miskin Perbendaharaan Kata di Masa Awal Pertumbuhannya?

Sebutan untuk bahasa Indonesia sebagai bahasa yang kacau dan rusak, juga dilihat dari perbendaharaan kata. Bahasa Indonesia disebut sebagai miskin perbendaharaan kata. Tapi, Soedarjo Tjokrosisworo menampik sebutan miskin perbendaharaan kata untuk bahasa Indonesia itu. Ia pun menyebutkan sederet terjemahan bahasa Indonesia untuk kata-kata Belanda:
Beberapa tjontoh:
1. Dagblad = soerat kabar harian; kemoedian diringkas mendjadi “soerat harian”. Kini tjoekoep dengan “harian” sadja.
2. Weekblad = soerat kabar minggoean , idem ini tjoekoep “minggoean”.
3. Periodiek = soerat berkala, kini “madjallah”.
4. Openbare vergadering = rapat oemoem, rapat ramai.
5. Delict = randjau.
6. Officieel, plechtig = rasmi.
7. Pers = achbar
8. Collega, confrater = sedjawat, rekan.
9. Onderwerp = atjara.
10. Aanleg =bakat.
11. Visscherij = periksaan.
12. Intellectueel = tjendekiawan.
13. Moral = ketertiban.
14. Protest = sangkal.
15. Enthousiasme = giat – gembira.
16. Nationalisme = kebangsaan.
17. Patriotisme = tjinta negeri.
18. Referee, scheidsrechter = hakim pemisah, kini “wasit”.
19. Journalist = wartawan
20. Juffrouw = poeteri, diringkaskan: Pi
21. Mevrouw = njonja, diindonesiakan: Nji
Dan lain-lain sebagainja (Soeara Oemoem, 8 April 1938).
Penatap banyak menyetujui kata-kata yang diajukan oleh Soedarjo itu, kendati ada pula yang ia tolak karena tidak sesuai dengan arti di Semenanjung Tanah Melayu. Ia menyebut “aanleg” yang diterjemahkan “bakat” oleh Soedarjo. Orang Semenanjung, kata Penatap, lebih mengenal “budi pekerti” untuk terjemahan “aanleg”. Ia juga menyebut cendekiawan –dari “cendekia”-- sebagai pengganti “intellectueel” yang berbeda arti dengan di Semenanjung. Di Minangkabau artinya juga orang terpelajar, tapi di Semenanjung, “cendekia” diartikan sebagai “pesona” atau “pengasut”.
Maka tidakkah molek ditjari perkataan-perkataan lain soepaja hal jang seroepa ini tidak mendatangkan kelak salah faham diantara perkataan itoe dengan maksoednja jang berlawanan itoe (Penatap, Soeara Oemoem, 23 April 1938).
Penatap juga menyebut “wasit” yang diambil dari bahasa Arab yang berarti “perhubungan yang menyampaikan antara dua benda” dan “jalan yang menyampaikan kepada maksud”. Di Semenanjung, menurut Penatap, “referee” diganti dengan “pengadil”.
Dari daftar itu, Kalana Djaja memberi catatan khusus pada “achbar”, selain “siswa” yang sudah dibahas di atas:
“achbar” -- oentoek pengganti perkataan “pers”. Perkataan Belanda diganti Arab, kedoeanja boekan bahasa kita (Soeara Oemoem, 21 April 1938).
Di Jawa, “achbar” sudah biasa dipakai. Tabrani, misalnya, pernah menggunakannya, seperti halnya pengurus Perdi juga menggunakannya ketika Perdi menganjurkan koran-koran Indonesia, termasuk koran-koran di Semenanjung, untuk memboikot Sin Po:
Jadi terang, Perdi mengadjak dan meminta semoea achbar Indonesia, djadi djoega djoeroemoedi “Pemandangan” soepaja mereka beramai-ramai memoetoeskan perhoeboengan dengan Sin Po (Tabrani, Pemandangan, 16 April 1937).
Priyantono Oemar
