Sekapur Sirih

Bebek Pincang Itu Bernama Nasdem. Yang Lainnya Tetap Atraktif di Barisan Bebek

Sontoloyo menggiring bebek (foto:wihdan/republika).
Sontoloyo menggiring bebek (foto:wihdan/republika).

Bebek di Indonesia memiliki asosiasi negatif. Senayan yang mengikuti keinginan Istana biasa disebut barisan bebek yang membebek.

Di zaman Orde Baru ada jalur ABG. Jalur inilah yang menjadi perpanjangan tangan Soeharto dalam menentukan calon gubernur di berbagai daerah: ABRI, Birokrat (Mendagri), dan Golkar.

Kasus di Nusa Tenggara Timur menjadi pengecualian, ketika calon gubernur yang disiapkan ABG ditelikung oleh ketua DPRD yang meminta dukungan dari gereja. Ketua DPRD kemudian terpilih sebagai gubernur, tetapi tak berapa lama gereja-gereja menarik dukungannya, karena ada indikasi pelanggaran hukum selama memerintah. Akhirnya, gubernur itu dilengserkan pada 1998, dan calon yang telah disiapkan oleh ABG dimajukan lagi.

Kini, gejala serupa mulai muncul. Jalur relawan Jokowi mulai meniru ABG. Mereka menyiapkan calon presiden pengganti Jokowi. Meski mereka mengaku tidak mendapat instruksi dari Jokowi, tapi tanda-tanda itu bisa dengan mudah dibaca oleh publik.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Partai politik di masa Orde Baru menjadi tidak berarti ketika calon-calon pemimpin ditentukan lewat kesepakatan di forum pimpinan ABG. Partai politik tinggal membebek pada keputusan ABG. Bebek di Indonesia memang menjadi hewan piaraan yang tidak bisa berbuat banyak selain digiring ke sawah untuk mencari makan dan pulang ke kandang.

Stereotipe bebek di Indonesia berbeda dengan bebek di Amerika Serikat yang dikenal sebagai hewan penjelajah. Jika bebek itu lumpuh, sehingga tidak bisa ikut bermigrasi ketika musim dingin tiba, maka ia akan mati karena tak mendapatkan makanan. Maka, di Amerika sana, lahirlah teori bebek lumpuh. Yaitu teori yang menyinggung ketidakberdayaan presiden di masa transisi ketika presiden baru sudah terpilih. Presiden yang masih menjabat tidak bisa membuat keputusan-keputusan strategis, karena hingga menunggu hari-hari kepemimpinannya berakhir sampai hari pelantikan presiden baru.

Di Indonesia, bebek lumpuh adalah anugerah. Bebek lumpuh itu menjadi bebek yang sangat beruntung karena tidak lagi ikut dalam rombongan bebek yang digiring untuk membebek. Dalam kelumpuhannya itu ia justru bisa menjauh dari barisan bebek yang membebek wek-wek-wek. Jadi, jika ada pengamat yang menyebut Jokowi sedang memasuki periode bebek lumpuh, tentu tidak tepat penggambaran seperti itu. Revisi UU IKN --yang di antaranya mengakomodasi keinginan investor untuk bisa membeli tanah di IKN, yang berarti bisa menjualnya juga kelak-- memperlihatkan betapa Jokowi bukan bebek lumpuh yang digambarkan para pengamat.

Sekali lagi, bebek Indonesia berbeda dengan bebek Amerika. Di Indonesia, sontoloyo –penggembala bebek-- akan menggiring bebek ke tempat bebek bisa mencari makanan. Di Amerika, bebek harus mencari makan sendiri. Kita perlu cermin untuk melihat wajah Indonesia sekarang.

Lihatlah pula partai yang mengusung Anies Baswedan, Nasdem. Ia pincang, belum lumpuh, sehingga terseok-seok membebek di barisan pembebek Jokowi. Bahkan ada desakan lebih baik bebek pincang itu ditinggal saja. Dilumpuhkan saja. Dikeluarkan dari barisan daripada mengganggu laju gerak dan irama dalam membebek.

Lalu, lihatlah satu partai di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang masih melontarkan narasi pura-pura, yaitu tetap menjagokan ketua partainya sebagai capres. Tetapi dua partai lainnya sudah membebek pada keinginan Musyawarah Rakyat Indonesia yang diadakan oleh relawan Jokowi. Relawan Jokowi tidak menginginkan ketua partai di KIB menjadi calon presiden. Oohya! Mungkin Anda melewatkan Musra Relawan Jokowi, bisa dibaca di sini: Apa Perbedaan Musyawarah Rakyat Indonesia (Musra Relawan Jokowi dengan Kongres Rakyat Indonesia?

Maka, cermatilah komentar pimpinan partai politik di KIB. Dalam sebuah jumpa pers, ada pimpinan partai yang memegang bola (Zulkifli Hasan), lalu ada pimpinan partai yang menyebutkan ada partai yang akan bergabung di KIB (Airlangga Hartarto), warna partainya ada di dalam bola yang dipegang Zulkifli Hasan. Bola itu dianggap membanggakan bangsa Indonesia, karena merupakan bola buatan dalam negeri yang dipakai di Piala Dunia. Tetapi, FIFA membantahnya. Bola buatan Indonesia tidak dipakai di Piala Dunia, melainkan hanya dijadikan bola suvenir. Penonton Piala Dunia dari berbagai negara bisa membelinya untuk oleh-oleh, bisa juga hanya melihat-lihat saja, atau bahkan mengabaikannya.

Maka, ketua partai di KIB yang dijagokan partainya (bukan oleh KIB) hanya dianggap sebagai capres suvenir. Bisa dibeli, bisa juga hanya dipandang-pandang, atau malah diabaikan. Jika diabaikan, berarti tidak akan dipakai dalam kompetisi pilpres 2024. Untuk keberlangsungan koalisi, ketua partai di KIB itu lalu menyebut warna simbol partai yang akan ikut bergabung di KIB, “Ada juga yang warnanya ada nuansa pakaian yang sering dipakai Bapak Presiden.” Jadi, dalam menentukan calon pemimpin, muaranya satu: Jokowi. Di masa Orde Baru, muaranya juga satu: Soeharto.

Priyantono Oemar

Berita Terkait

Image

Hati-Hati, Lahan Gambut yang Dibuka Jokowi untuk Food Estate Hanya 1 Persen yang Cocok

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

oohya.republika@gmail.com