Mengenal Ladang Berpindah Masyarakat Dayak Kalimantan
Dengan sistem ladang berpindah, masyarakat Dayak tidak memerlukan pupuk subsidi dari pemerintah.
Mengandalkan hutan, masyarakat Dayak di Kalimantan akan bercocok tanam di hutan. Tentu saja, mereka harus membuka hutan terlebih dulu. Keluarga yang akan membuka hutan, sesuai ketentuan adat, melemparkan batu atau tombak. Sejauh batu atau tombak terlempar itulah lahan yang boleh dibuka.
Pohon-pohon ditebang, lalu semak-semak dibakar. Untuk membakar lahan ini, warga akan bergotong royong menjaga batas, agar api tidak melebar ke hutan. Batas luar lahan yang akan dibakar juga dibuat parit terlebih dulu, untuk memutus jalar api. Warga berjaga di sini untuk mencegah api tertiup angin meloncati parit, menyambar serasah di lahan hutan yang belum dibuka.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 membolehkan masyarakat adat membakar lahan maksimal dua hektare per keluarga. Ia wajib memberitahukan ke kepala desa mengenai rencana pembakaran lahan itu.
Dengan cara ini, mereka bertani dengan sistem ladang berpindah. Mereka yang baru berkeluarga dan harus membuka lahan baru, bisa-bisa mereka mendapatkan lokasi hutan yang jauh dari balai adat tempat mereka tinggal. Bisa ditempuh hingga satu jam dua jam perjalanan bagi mereka, tetapi ketika saya beberapa kali ikut ke ladang mereka, baru tiga jam lima jam kemudian bisa sampai di ladang.
Dengan sistem ladang berpindah ini, mereka mengandalkan pupuk alam. Humus dan abu sisa pembakaran lahan akan menyuburkan tanah. Jika tanah sudah tidak subur, mereka akan membuka lahan baru. Begitu seterusnya, dan baru kembali ke lahan pertama setelah tiga atau lima tahun kemudian. Jadi, mereka tidak perlu pupuk subsidi dari pemerintah.
Lahan yang sudah ditinggal 3-5 tahun itu, tanpa ditanami apa-apa, tentu sudah menjadi hutan lagi. Penuh dengan semak belukar, dan mereka perlu membakarnya lagi. Tetapi, jika lahan yang ditinggalkan itu ditanami pohon karet, maka mereka baru bisa kembali ke lahan ini setelah karet tidak produktif lagi. Yaitu 30 tahun kemudian.
Selama musim tanam atau panen, mereka akan memilih tinggal di ladang, jika ladang itu sudah cukup jauh dari balai adat. Mereka menanam padi di lahan kering yang baru mereka buka. Padi baru bisa dipanen enam bulan kemudian.
Priyantono Oemar