Egek

Melindungi Bayi Lobster dengan Hukum Adat Egek

Lobster yang dipanen pada masa buka egek di perairan Malaumkarta, Sorong, Juni-Juli 2022 (foto: Dokumentasi Perkumpulan Generasi Malaumkarta Raya).
Lobster yang dipanen pada masa buka egek di perairan Malaumkarta, Sorong, Juni-Juli 2022 (foto: Dokumentasi Perkumpulan Generasi Malaumkarta Raya).

Sistem hukum adat egek menjaga keberlangsungan perikanan laut

Sejak tahun 2000, masyarakat adat Moi di Malaumkarta, Sorong, Papua Barat, menghidupkan kembali sistem hukum adat perlindungan laut, yaitu egek. Hukum ini mengatur masa panen produk laut. Selama masa tutup egek, masyarakat dilarang mengambil lobster, teripang, dan sebagainya. Untuk kebutuhan makan sehari-hari, masih dibolehkan mengambil ikan.

Egek tak hanya untuk melindungi laut, melainkan juga untuk melindungi hutan dan kebun. DI hutan misalnya, pada masa tutup egek, masyarakat tak boleh mengambil buah dari pohon tertentu, seperti yang diberlakukan di masyarakat adat Fakfak.

Egek dikenal juga sebagai sasi. Di Sangihe, sasi artinya air laut. Buku De Sluik- en Kroesharige Rassen Tusschen Selebes en Papua (Ras Berambut Lurus dan Keriting antara Sulawesi dan Papua) menyebut sasi sebagai pantangan/tabu. Jika sesuatu telah ditetapkan sebagai objek pantangan, maka tak ada orang yang boleh menyentuhnya. Pada awalnya, ini diterapkan agar tidak ada yang mencurinya atau merampasnya. Jika pantangan itu dilanggar, diyakini akan muncul murka dari makhluk gaib.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pada Juni-Juli 2022, masyarakat adat Malaumkarta melakikan buka egek. Lobster yang dipanen mencapai 328 kilogram, laku dijual Rp 104,986 juta. Sedangkan teripang mencapai 289 kilogram dengan nilai jual Rp 72,883 juta. Jika saat buka egek didapati lobster yang masih bertelur, lobster itu akan dilepas lagi. Dengan sistem hukum adat ini pula, bayi lobster terlindungi.